Masjid Nurul Haq

Masjid Nurul Haq dibangun dengan biaya swadaya dari Masyarakat RW. 09 Blok Rawalumbu, Bekasi, tempat ibadah warga RW. 09 terletak di antara RT. 4, RT 5 dan RT. 6. Kegiatan Majelis Taqlim Bapak-Bapak, Ibu-Ibu RW. 09 dan Tempat TPA bagi anak-anak...

Dzikir-dzikir setelah Sholat

Di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah diterangkan tentang keutamaan berdzikir kepada Allah, baik yang sifatnya muqayyad (tertentu dan terikat) yaitu waktu .....

Tafsir Surah At-Tin

Pada ayat pertama surat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan At Tin dan Az Zaitun.

Hargai Waktu, Jangan Abaikan Akhiratmu

DALAM Islam, waktu itu adalah amal sholih. Waktu itu bukanlah uang seperti kata sebuah adagium, time is money. Di sini, amal sholih menjadi tujuan utama, bukan materi. Bukan berarti Islam anti-uang. Akan tetapi yang lebih tepat kita katakan, uang/materi menjadi sarana untuk beramal sholih, bukan tujuan utama (big goal). Jika uang menjadi big goal, maka materialisme menjadi pemahaman kita. Adagium “time is money”, adalah prinsip kaum materialism. .....

Inilah Wahhabi Sesungguhnya..!!!

Wajib diketahui oleh setiap kaum Muslimin dimanapun mereka berada bahwasanya firqoh Wahabi adalah Firqoh yang sesat, yang ajarannya sangat berbahaya bahkan wajib untuk dihancurkan. Tentu hal ini membuat kita bertanya-tanya, mungkin bagi mereka yang PRO akan merasa marah dan sangat tidak setuju, dan yang KONTRA mungkin akan tertawa sepuas-puasnya.. Maka siapakah sebenarnya Wahabi ini??

Rabu, 11 April 2012

Berislam Tanpa Ghuluw!

ISLAM merupakan satu-satunya manhaj yang lurus (al-sirāt al-mustaqīm). Karakter ini lah yang berbeda dengan tipe agama-agama sebelumnya. Ajaran agama sebelumnya dikoreksi al-Qur’ān disebabkan mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan). Seperti Nasrani yang menuhankan Nabinya. Sikap ini yang dijauhi Islam. Peringatan itu telah disampaikan Rasulullah Shallahu ‘alihi wa sallam: “Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena sikap berlebihan dalam agama.” (HR. Imam Ahmad, hadis shahih).

Ghuluw adalah sikap melampaui batas kebenaran. Sesuatu yang berlebih-lebihan pasti akan keluar dari jalan yang lurus. Ibn Hajar mengatakan: “Ghuluw adalah berlebih-lebihan terhadap sesuatu dan menekan hingga melampau batas.” (Fathul Bāri, 13, hal. 278).

Sikap ghuluw telah lama menjangkiti umat-umat terdahulu. Sebelum Nabi Muhammad, umat-umat Nabi Nuh, Nabi Musa dan Isa dikecam karena telah melebih-lebihkan aturan yang telah diberikan.

Allah berfirman:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللّهِ وَقَالَتْ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِؤُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah dan orang-orang Nasrani berkata: "Al masih itu putera Allah. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?”

Inilah sikap ghuluw, seorang nabi dilebih-lebihkan menjadi dipertuhankan. Mereka melampau batas (had) yang telah ditentukan Allah. Adakalahnya ghuluw itu mulanya dilakukan oleh orang-orang yang baik, bertujuan mengabdi kepadanya. Hanya saja, karena tidak berilmu, semangat yang berlebihan tidak terarahkan.

Jadi ghuluw dalam beragama adalah sikap melampau batas-batas dalam perintah agama. Hal itu dilakukan dengan cara menambah dengan porsi yang berlebihan sehingga mengeluarkannya dari apa yang diinginkan syariat. Sebab menjalankan perintah syariat itu tidak berlebihan (ifrāth) tidak pula menganggap remeh (tafrīth) (Mas’ud Shobri, al-Ghuluw fi al-Dīn wa al-Hayāh,14).

Seperti pendapat Imam Fakhruddin al-Rāzi, ghuluw yang dilarang di sini adalah ghuluw madzmūm (sikap berlebihan yang dikecam). Yaitu ghuluwun bāthil. Imam al-Rāzi mencontohkan ghuluw madzmūm ayat al-Qur’an surat al-Mā’idah: 77:



قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيراً وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ



Katakanlah: "Hai Ahlul Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang Telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka Telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus."

Secara umum, ghuluw dalam agama itu dilarang. Akan tetapi yang dilarang itu yang telah melampaui batas syari’at seperti yang dilakukan oleh kaum Ahlul Kitab. Mereka melewati batas-batas kebenaran, sehingga mengeluarkannya dari agama yang diridlai. Adapun ghuluw yang dilakukan dalam kerja penelitian, meneliti hakikat sesuatu dan berusaha menemukan argumentasi yang tepat sebagaimana yang dilakukan oleh mutakallimun menurut Imam al-Razi disebut ghuluw mahmūdah (yang terpuji).

Sikap ghuluw madzmūmah (tercela) itu melingkupi ghuluw dalam ibadah, ghuluw dalam hukum takfir, ghuluw dalam akidah dan ghuluw dalam hidup.

Pertama, ghuluw dalam Ibadah. Yaitu mewajibkan dirinya kepada sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah. Mengharamkan sesuatu untuk dirinya, padahal Allah tidak pernah mengharamkan untuknya, atau ada pula yang terlalu berlebihan melaksanakan ibadah sunnah tapi kewajiban-kewajibannya dilalaikan. Seperti mengharamkan dirinya untuk tidak menikahi wanita dengan tujuan untuk beribadah secara total. Sikap seperti ini meski maksudnya baik, akan tetapi karena melampau batas, maka sikap tersebut mengeluarkan dari jalur kebenaran.

Seperti kisah seorang sahabat Nabi Muhammad yang mengaku di depan Nabi bahwa dia shalat malam tidak berhenti-berhenti, puasa setiap hari dan tidak menikah. Rasulullah pun terperangah dengan sikap ekstrim tersebut. Beliau melarang sikap tersebut. Beliau memberi saran, cukup laksanakan apa yang telah diperintahkan syariat.

Kedua, ghuluw dalam hukum takfir. Selama seorang Muslim itu mengamalkan ijtihad fiqh para ulama, maka ia tidak boleh dikafirkan. Perbedaan dalam ijtihad fiqih di kalangan para ulama tidak sampai kepada hukum saling mengkafirkan. Seperti hukum membaca qunut subuh, jumlah shalat tarawih dan ijtihad-ijtihad lainnya tidak diperkenankan sampai mengkafirkan. Perkara-perkara ijtihad itu disebut ikhtilaf tanawwu (perbedaan fariatif).

Adapun jika seseorang telah keluar jauh dari al-haq, berbuat kekufuran secara jelas, dan hal-hal lain yang dalam teks agama masuk ke dalam kelompok yang dikafirkan, maka otoritas hukum tentu menghukumi kafir.

Ketiga, ghuluw dalam akidah. Ghuluw jenis ini seperti yang dilakukan oleh kaum Ahlul Kitab. Menuhankan para nabinya. Dan kaum nabi Nuh yang menyembah matahari, bulan dan bintang padahal mengaku percaya pada Allah. Dalam hal ini, para ulama’ menyebut kaum Yahudi paling ekstrim. Mereka adalah kaum yang sangat mudah menyamakan makhluk dan khaliq (pencipta), menyamakan Allah dengan manusia. Di antara kaum juga ada yang berlebihan mencintai pemimpin hingga menyematkan sifat ketuhanan kepadanya.

Keempat, ghuluw dalam kehidupan. Di antaranya, makan, minum dan memakai air secara berlebihan. Rasulullah melarangnya: ”Tidaklah Bani Adam memenuhi kantong yang lebih jelek dari pada perutnya. Hendaklah Bani Adam makan sekedar menegakkan punggungnya. Jika tidak bisa, maka makanlah sepertiganya untuk makanan, sepertiganya untuk minuman, dan sepertiganya untuk napasnya.” (HR Tirmidzi).

Meskipun, ghuluw jenis ini tidak sampai mengancam keislaman seseorang, akan tetapi hal ini tetap dilarang. Akibatnya, bisa menjerumuskan seseorang kepada kerusakan diri, kesehatan dan kehidupannya.

Seseorang bersikap ghuluw disebabkan karena bebarapa hal. Bisa dikarenakan kekurangan ilmu dan tidak memahami hakikat agama.

Seseorang yang enggan menikah dengan alasan agar lebih konsentrasi dalam beribadah, itu disebakan tidak memahami konsep nikah dan ibadah. Di antara fenomena ghuluw disebabkan tidak memahami hakikat agama adalah memahami nash agama dengan satu pandangan yang sempit serta mengesampingkan persoalan yang lebih besar yang menimpa umat (Yusuf Qardhawi, al-Shahwah al-Islamiyah bain al-Juhud wa al-Tatharruf).

Bisa pula disebabkan oleh fanatisme buta dan sempitnya wawasan. Oleh sebab itu, Islam itu ajaran yang komprehensif, maka setiap sesuatu dipandang secara integral dan berdasarkan ilmu.

Pada hakikatnya, Islam juga melarang orang untuk meremehkan (tafrīth) ajaran dan perintah agama. Orang meremehkan perintah agama juga akan jatuh kepada kekeliruan. Ajaran Islam merupakan ajaran yang lurus, tidak tafrith tidak pula ifrath. Karakter ini menyangkut setiap aspek, baik keyakinan, ibadah, akhalk, muamalah, dan kehidupan sehari-hari.*/Kholili Hasib

Senin, 09 April 2012

4 Kiat Sukses Menghafal Al Qur'an

Ada faedah berharga yang baru saja kami peroleh di pagi ini yang berisi kalam-kalam ulama mengenai kiat sukses menghafalkan Al Qur’an.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
نحن نحفظ في اليوم خمس آيات و لا نجاوزهن حتي نعلم تفسيرهن فسيأتي أقوام  يحفظون القرآن كله لا يعملون به يقيمون حروفه و لا يقيمون حدوده
“Kami menghafalkan Al Qur’an dalam sehari sebanyak lima ayat dan kami tidaklah menambah lebih dari itu sampai kami menguasai tafsir ayat-ayat tersebut. Sungguh akan datang kaum di mana mereka menghafalkan Al Qur’an seluruhnya, namun mereka tidak mengamalkannya. Mereka begitu mantap menguasai huruf-hurufnya, namun mereka tidak memahami aturan-aturan dalam Al Qur’an.”
Inilah di antara kiat menghafalkan Al Qur’an, kuasai pula tafsirnya. Hal ini akan membuat hafalan kita lebih mantap dan lebih khusyu’ ketika membacanya terutama dalam shalat.
Kiat utama lainnya untuk menghafal Al Qur’an sebagaimana ketika Imam Malik ditanya,
كيف نحفظ؟
“Bagaimana kita bisa menghafal Al Qur’an?”
بالتكرار
“Banyak mengulang-ngulang”, jawab beliau.
Imam Ahmad ditanya,
ما أسرع الوسيلة للحفظ
“Bagaimana cara yang paling cepat untuk menghafalkan Al Qur’an?”
الزام الحسنات و دع السيئات
Imam Ahmad menjawab, “Kiat paling cepat untuk menghafal Al Qur’an adalah rajin lakukan amalan baik dan tinggalkan maksiat.”
Ibnu Mas’ud berkata,
الحفظ علي قدر النية
“Menghafal itu tergantung kesungguhan niat seseorang.”
Ada empat kiat sederhana agar mudah menghafal Al Qur’an dari pelajaran di atas:
  1. Bulatkan niat untuk menjadi penghafal Al Qur’an dan ikhlaskan niat hanya karena Allah.
  2. Banyak mengulang
  3. Gemar beramal dan tinggalkan maksiat
  4. Kuasai tafsir setiap ayat yang telah dihafal

Perkataan para ulama di atas dapat disimak pada penjelasan pada video berikut:

Moga Allah memudahkan kita menjadi penghafal Al Qur’an dan menjadi kekasih yang dekat di sisi-Nya.

Faedah di pagi hari saat masuk ke Lab Sabic
Riyadh, KSA, Hari Tasu’ah, 9 Muharram 1433 H
www.rumaysho.com

Kaedah Fiqih, Seluruh Ajaran Islam Mengandung Maslahat

Ajaran Islam sungguh adalah ajaran yang sangat indah. Setiap hukum yang ada tidaklah ada yang sia-sia. Mulai dari hal pakaian, penampilan, kebersihan dan ibadah, semua telah diajarkan. Dan semua ajaran tersebut mengandung maslahat dan bertujuan untuk meniadakan bahaya bagi hamba. Jilbab misalnya tidaklah wanita diperintahkan tanpa ada maslahat, namun ada maksud baik di balik itu. Wanita akan lebih terjaga ketika mengenakannya. Begitu pula dengan ajaran Islam lainnya.
Saat ini kita akan melanjutkan bahasan dari ba'it sya'ir yang disusun oleh Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di mengenai qowa'idul fiqhiyyah atauk kaedah fikih. Dari kaedah seperti ini, kita akan semakin memahami istimewanya ajaran Islam dan lebih membantu memahami ilmu fikih.
Syaikh As Sa'di rahimahullah kembali menyebutkan:
الدين مبني على المصالح
في جلبها والدرء للقبائح
Ajaran Islam dibangun di atas maslahat
Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudhorot (bahaya)
Bait sya’ir di atas mengandung pengertian bahwa ajaran Islam dibangun atas dasar meraih maslahat dan menolak mudhorot (bahaya).
Maslahat akan Kembali pada Hamba
Maslahat yang dimaksud adalah manfaat. Maslahat di sini bukanlah kembali pada Allah karena Allah itu ghoni (Maha Kaya). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS. Fathir: 15). Maslahat atau manfaat yang dimaksud adalah yang dirasakan oleh hamba.
Maslahat Bukanlah Ditimbang dengan Hawa Nafsu
Maslahat di sini juga bukanlah menurut hawa nafsu atau yang dikehendaki oleh jiwa. Karena seperti itu sudah keluar dari makna diin atau ketaatan. Yang namanya ketaatan adalah dengan mengikuti perintah Allah. Oleh karena itu, syari’at Islam melarang seseorang untuk memperturut hawa nafsu sebagaimana dalam firman-Nya,
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (QS. Shad: 26). Intinya, mengikuti hawa nafsu hanya memberi dampak dhoror (bahaya) dan tidak mendatangkan maslahat selamanya.
Cara Mengetahui Maslahat dan Mudhorot
Ada beberapa macam metode dalam mengenali hal ini yang dilakukan oleh beberapa golongan.
1. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa maslahat dan mudhorot bagi hamba dinilai dari logika. Inilah prinsip dari mereka yang mengangumi dan mengedepankan akal.
2. Golongan Asya’iroh berpendapat bahwa patokan baik dan buruk adalah syari’at. Dusta misalnya barulah dikatakan jelek dilihat dari penyandaran perbuatan tersebut, bukan dilihat dari sisi perbuatan dusta itu sendiri. Dusta baru dibenarkan sebagai hal yang keliru ketika telah dijelaskan oleh syari’at. Jika tidak, maka tidaklah demikian menurut mereka. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan akal dan dalil syar’i. Setiap orang pasti sudah mengetahui bahwa dusta itu merupakan perbuatan yang jelek, sedangkan jujur adalah perbuatan yang baik –walau tidak diterangkan dengan dalil-. Oleh karena itu, perbuatan jelek sudah dianggap jelek oleh syari’at sebelum Rasul itu ada. Namun hukuman dari perbuatan jelek tersebut diperuntukkan jika Rasul telah diutus di suatu kaum. Allah Ta’ala berfirman,
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf” (QS. Al A’rof: 157). Menurut Asya’iroh bahwa sandaran penilaian perbuatan baik dan jelek adalah dari syar’i. Jika yang benar sesuai pemahaman mereka, seharusnya ayat tadi berbunyi, “Yang menyuruh mereka mengerjakan sesuai yang diperintahkan pada mereka”. Padahal ayat tersebut tidak memaksudkan demikian. Karena perbuatan ma’ruf sudahlah dinilai baik meskipun belum datang syari’at.
Pendapat yang benar mengenai cara menilai sesuatu itu maslahat ataukah tidak yaitu dengan sendirinya meskipun tidak ada dalil logika maupun dalil syar’i. Jujur sudah dapat dinilai baik meskipun sebelum adanya syari’at atau sebelum dinalarkan dengan logika. Namun kapan seseorang baru terkena hukuman ketika dusta? Untuk masalah hukuman baru ada setelah tegak dalil, setelah sampainya syari’at atau diutus seorang Rasul sebagai pemberi keterangan (hujjah). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Al Isro’: 15). Demikianlah pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan inilah yang tepat.
Dalil-Dalil Pendukung: Seluruh Ajaran Islam Mengandung Maslahat
Seluruh ajaran Islam itu mengandung maslahat dan dipastikan pula setiap ajaran Islam bermaksud untuk mengenyampingkan mudhorot pada hamba. Yang menerangkan bahwa seluruh ajaran Islam mengandung maslahat dan menolak mudhorot adalah dalil-dalil berikut ini:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya’: 107). Jika syari’at itu rahmat, maka konsekuensinya pasti ajaran Islam selalu mendatangkan maslahat dan menolak bahaya.
Begitu pula dalam ayat,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3). Sempurnanya nikmat adalah dengan sempurnanya ajaran agama ini. Dan sebagai tandanya, ajaran ini pasti selalu mendatangkan maslahat dan menolak mudhorot.
Begitu juga dalam berbagai ajaran Islam jika kita tilik satu per satu, kadang diberikan alasan bahwa ajaran tersebut mendatangkan maslahat bagi hamba. Sebagaimana dalam hukum qishash, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 179).
Semacam pula dalam perintah menggunakan jilbab bagi wanita, disebutkan pula maslahat di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Saking pentingnya kaedah ini, para ulama sangat perhatian di dalamnya. Sampai-sampai ada di antara mereka membuat tulisan tersendiri tentang masalah ini. Semacam Imam Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam menyusun buku yang sempurna yang membahas hal ini. Beliau menjadikan seluruh ajaran dalam hukum Islam berputar di antara maslahat.
Macam-Macam Maslahat
Jika melihat ajaran Islam, kita akan temukan bahwa ajaran tersebut ada yang mengandung maslahat yang wajib, seperti shalat lima waktu. Ada pula yang mengandung maslahat yang sunnah (mustahab) seperti shalat sunnah. Ada juga yang mengandung maslahat bagi orang banyak dan jika tidak dikerjakan oleh semua, maka cukup sebagian yang mengerjakannya seperti dalam shalat jenazah.
Jadi kita dapat membagi maslahat menjadi:
1. Maslahat yang dijalankan dalam masyarakat oleh sebagian orang.
2. Maslahat yang dituntunkan untuk dikerjakan oleh setiap individu muslim.
Begitu juga kita dapat membagi maslahat menjadi:
1. Maslahat yang wajib, yaitu mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
2. Maslahat yang sunnah, yaitu tidak dampai mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
Mafsadat (bahaya) juga ada yang haram dan ada yang makruh. Yang haram semisal melanggar harta dan darah muslim yang lain, maka jika melakukannya akan mendapatkan dosa. Mafsadat seperti ini ada yang berdampak dosa besar, ada pula yang dosa kecil. Adapun mafsadat yang makruh tidak berdampak dosa bagi yang melanggarnya, bahkan bisa memperoleh pahala jika ditinggalkan.
Pembahasan Berbagai Maslahat
Ada pula tinjauan pembagian maslahat dari sisi lain. Para ulama juga membagi maslahat menjadi tiga macam:
1. Maslahat mu’tabaroh, yaitu maslahat yang dianggap sebagai maslahat oleh syari’at baik ditetapkan oleh dalil Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ maupun qiyas. Contohnya adalah dalam masalah qishash dan jilbab yang telah disebutkan di atas.
2. Maslahat mulghoh, yaitu maslahat yang bertentangan dengan syari’at. Contohnya dalam masalah ini, siapa yang bersumpah lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia punya kewajiban untuk menunaikan kafaroh sumpah. Kafarohnya adalah memberi makan kepada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin atau memerdekakan satu orang budak. Jika tidak mampu melakukan ketiga hal tersebut, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 89. Namun ada yang melanggar sumpahnya dan belum melakukan tiga pilihan pertama dari kafaroh tadi, malah sudah melangkah ke pilihan kedua, yaitu melakukan puasa selama tiga hari. Puasa itu baik, namun bertentangan dengan aturan syari’at yang telah disebutkan. Ini yang namanya maslahat mulghoh atau maslahat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan yang dianggap baik di sini sebenarnya mafsadat.
Contoh lainnya lagi adalah dalam masalah shalat Jum’at. Di sebagian negeri kafir sangatlah sulit menunaikan shalat Jum’at pada hari Jum’at karena hari Jum’at bukanlah waktu libur. Beda halnya dengan di negara Islam yang memberikan waktu libur pada hari Jum’at. Lalu sebagian orang memberikan solusi, shalat Jum’at sebaiknya dipindahkan saja ke hari Minggu karena hari tersebut adalah hari libur. Mereka anggap, seperti itu adalah maslahat. Namun sebenarnya pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran Islam dan teranggap sebagai maslahat yang mulghoh yang tertolak (tidak teranggap).
3. Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang tidak memiliki dalil, namun tidak bertentangan (ditiadakan) oleh syari’at dan tidak pula dianggap. Mengenai maslahat yang satu ini, para ulama berselisih pendapat apakah bisa dijadikan hujjah (alasan kuat) ataukah tidak. Sebagian ulama ada yang menolaknya sebagai hujjah. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan bahwa semua maslahat pasti teranggap oleh syari’at. Jika ada yang menganggapnya sebagai maslahat mursalah, maka hal itu tidak lepas dari dua keadaan:
a. Sebenarnya maslahat tersebut adalah mafsadat (mengandung bahaya).
b. Sebenarnya ada dalil yang menunjukkan hal yang dimaksud sebagai maslahat, namun mungkin tidak diketahui oleh sebagian mereka.
Pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah adalah pendapat yang kuat. Karena jika kita menetapkan seperti ini berarti kita menganggap syari’at Islam benar-benar sempurna sehingga bisa menjadi dalil dan bisa sebagai jawaban dari segala permasalahan, serta tidak diperlukan qiyas kecuali dalam sedikit masalah yang tidak ditemukan dalil untuk menjawab permasalah tersebut.
Jika Tidak Diketahui Adanya Maslahat
Para ulama juga menjelaskan bahwa maslahat dalam hukum dibagi menjadi dua yaitu maslahat ma’lumah (yang diketahui) dan maslahat majhulah (yang tidak diketahui).
Maslahat majhulah berarti kita dapat pastikan dalam hukum syari’at ada maslahat tetapi kita tidak mengetahui seperti apa bentuk maslahat tersebut. Seperti memakan daging unta bisa membatalkan wudhu. Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ».
Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan  daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.” (HR. Muslim no. 360). Kita tidak mengetahui apa maslahat perintah wudhu setelah memakan daging unta. Namun kita tidak bisa meninggalkan hukum tersebut karena tidak mengetahui hikmahnya. Ini yang patut dicatat.
Sedangkan maslahat ma’lumah adalah suatu maslahat yang diketahui. Seperti dalam pensyari’atan nikah. Dalam nikah ada maslahat untuk menghasilkan keturunan yang sholeh dan bertambah tenang karena selalu bersama pasangan hidup. Begitu pula dengan adanya keturunan yang sholeh, pahala bagi kedua orang tua akan terus mengalir sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Ini adalah maslahat yang jelas kita ketahui.
Bolehkah seseorang dalam beramal berniat untuk menggapai tujuan duniawiyah?
Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah berkata, “Seharusnya setiap orang berniat untuk meraih pahala dan balasan di sisi Allah, yang diharapkan adalah wajah Allah dan kebahagiaan di akhirat. Jika seseorang semata-mata mencari keuntungan duniawi, maka boleh saja ia berniat untuk seperti itu namun pada amalan yang ada nash (dalil) yang menerangkan adanya manfaat jika melakukan amalan tersebut. Akan tetapi, jika ia berniat seperti ini, yaitu ingin menggapai dunia semata –tidak ingin mengharap pahala akhirat sama sekali-, maka di akhirat ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Begitu pula jika seseorang berniat dalam amalannya dengan niat yang bertentangan dengan maksud syari’at, maka ia jadinya berdosa. Contohnya adalah yang berniat untuk menikah karena tujuan membantu temannya yang sudah mentalak istrinya tiga kali supaya bisa halal kembali, inilah yang disebut nikah tahlil. Ini jelas tujuan yang bertentangan dengan syari’at dan jadinya berdosa” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah, hal. 56).
Tentang masalah niatan duniawi dalam amalan diterangkan dalam ayat berikut, Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ , أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Hud: 15-16).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.” Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.
Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 422-423).
Intinya, beramal sholeh untuk menggapai dunia bisa kita rinci menjadi dua:
1. Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan. Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.
2. Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat)” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557). Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlas, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.
Baca ulasan di rumaysho.com: Beramal sholeh untuk menggapai tujuan duniawi.
Alhamdulillah, akhirnya kita dapat memahami bagaimana Islam membangun ajarannya di atas maslahat. Jadi, tidak ada kerugian jika kita melakukan berbagai ajaran Islam. Dalam hal jilbab, meskipun terasa berat oleh sebagian wanita, namun pasti jilbab itu mengandung maslahat yaitu lebih menjaga diri wanita. Begitu pula dalam masalah jenggot, laki-laki diperintahkan untuk memeliharanya dan dibiarkan begitu saja tanpa dirapikan atau dicukur habis. Lantas apa maslahatnya? Jika tidak diketahui bentuk maslahatnya pun, tetap kita mesti menjalaninya. Karena jika kita tidak mengetahui, belum tentu maslahatnya tidak ada. Dan mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendatangkan maslahat di dunia maupun akhirat. Yakinlah dengan ajaran Islam yang indah
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 16 Jumadal Ula 1433 H
Sumber : www.rumaysho.com

Rabu, 04 April 2012

Gerilya misionaris Syi’ah di bidang media

Benarkah ada gerilya misionaris syi’ah di bidang media? Siapa saja mereka? Berikut perkembangan gerilya misionaris syi’ah di bidang media, khususnya yang sedang menjadi perbincangan hangat mengikuti maraknya penyebaran faham syi’ah dengan berbagai macam cara, termasuk media. Semoga bermanfaat!

Ada Apa Dengan Republika?

Salah satu media yang kerap diduga dan telah disusupi faham syi’ah adalah Harian Umum Republika. Harian yang sering mengklaim media Islam ini sering dikeluhkan mengapa beritanya tentang Iran terus-menerus.

Salah satu keluhan kepada Republika mencuat saat diselenggarakannya tabligh akbar tentang “Menyingkap Tabir Syi´ah” di Masjid Baitul Karim Kebon Kacang Tanah Abang Jakarta, Ahad 5 Feb 2012/12 Rabi´ul Awwal 1433H.

Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, penulis buku “Aliran dan Paham Sesat di Indonesia” yang menjadi nara sumber pada acara tabligh akbar tersebut pun menceritakan bahwa di tahun 2002 dirinya pernah berhadapan dengan Haidar Bagir, pemimpin Harian Umum Republika, yang memprotes dan keberatan namanya ditulis dalam judul Gerakan Syi’ah di Indonesia. (http://nahimunkar.com/10996/dipertanyakan-kenapa-republika-beritanya-iran-melulu)

Harian Umum Republika yang pernah dipimpin oleh tokoh syi’ah Haidar Bagir ini dikenal “rajin” menampilkan berita-berita tentang Iran, bahkan kini secara terang-terangan mendukung propaganda kaum sesat syi’ah.

Hari Kamis (09/02/2012), Harian Umum Republika dengan terang-terangan memuat iklan “terselubung” dari Yayasan Muslim Indonesia Bersatu (YMIB), berjudul “MELAWAN POLITIK ADU DOMBA DENGAN PERSATUAN UMAT”.

Tidak tanggung-tanggung, Harian Umum Republika memuat iklan propaganda sesat syi’ah itu setengah halaman korannya hanya untuk menyatakan keabsahan syi’ah sebagai aliran dalam Islam. Parahnya lagi, syi’ah mencatut beberapa nama ulama sunni, dan mengatakan bahwa Syiah diakui sedikitnya di 48 negara, yang dimuat dalam Risalah ‘Amman. Dalam risalah yang dinukil YMIB itu dikatakan bahwa Mazhab Jakfari juga bagian dari Islam.

Tulisan setengah halaman ini berisi ajakan taqrib (pendekatan) Sunni-Syiah. Iklan berisi ajakan membangun persatuan ummat, khususnya antara Muslim Ahlu Sunnah wal-Jamaah dengan pengikut Syiah ini juga mengutip pernyataan berbagai ulama Sunni, seolah-olah nampak indah.

Ustadz Fahmi Salim, MA, Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menulis artikel berjudul “Distorsi Syiah Di Balik Ajakan “Persatuan” Umat”, guna menangkal terjadinya distorsi propaganda Syi’ah di balik ajakan “Persatuan”. (http://hidayatullah.com/read/21086/10/02/2012/distorsi-syiah-di-balik-ajakan-%E2%80%9Cpersatuan%E2%80%9D-umat.html)

Parahnya, artikel ini juga dikutip situs Syi’ah IRIB, (http://indonesian.irib.ir/beranda)Iran Indonesian Radio, Irib World Service, yang merupakan propaganda langsung kepanjangan tangan rezim syi’ah Iran.

Melihat sepak terjang Harian Umun Republika, khususnya keberadaan Haidar Bagir, seringnya memuat artikel pro syi’ah, dan juga memuat iklan-iklan propaganda syi’ah, maka sudah saatnya kita mempertanyakan ada apa dengan Republika?

Radio Silaturahim Pro Syi’ah?

Kontroversi adanya media-media khusus sebagai corong atau sarana propaganda syi’ah kali ini menimpa Radio Silaturahim (Rasil), sebuah radio berlabel Islam yang mengudara pada frekwensi AM 720. Radio Silaturahim atau yang biasa disingkat Rasil, dinamakan demikian,karena beralamat di jalan Masjid Silaturrahim No. 36 Halimanggis, Cibubur, Bekasi.

Kontroversi mencuat ketika artikel berjudul “Radio Rasil Pro Syiah?” tulisan Ustadz Hartono Ahmad Jaiz yang dikirim ke situs Eramuslim dimuat di situs tersebut. Tulisan itu mengundang pihak Rasil AM 720 melayangkan bantahan dan klarifikasi melalui Geisz Chalifah, Manager Humas Radio Silaturahim (Rasil AM 720).

Isi bantahan dari fihak Rasil maupun tanggapan dari fihak Eramuslim bisa dibaca lebih detail di http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/bantahan-dan-klarifikasi-radio-silaturahim.htm

Artikel berjudul “Radio Rasil Pro Syiah?” bisa dibaca lengkap di situs nahimunkar.com, tepatnya di http://nahimunkar.com/10988/radio-silaturahim-pro-syiah/ Dalam artikel tersebut, Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, mengkritisi siaran Rasil yang bermoto “Untuk Islam Yang Satu” khususnya Tausiah Sore, dengan nara sumber Ustadz Zen Al-Hady, yang berlangsung sejak pukul 16.00 WIB hingga menjelang adzan magrib, di edisi 02 Februari 2011.

Dalam tulisan tersebut, Ustadz Hartono Ahmad Jaiz menangkap kesamaan pandangan Ustadz Zen Al-Hady, dengan pendukung syi’ah sebelumnya, seperti Said Agil Siradj, Umar Shihab, yang mengatakan syi’ah sudah ada sejak dulu, dan mereka bagian dari Islam karena orang Syi’ah diizinkan ber-Haji ke tanah suci. Alasan lainnya, Republik Syi’ah Iran merupakan anggota OKI dan anggota Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Sedunia).

Banyak lagi yang diungkapkan oleh Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, mengomentari Ustadz Zen Al Hady, yang menurutnya ingi membentuk sebuah opini yang bagus, namun klise. Kesimpulannya menyesatkan!

Dari sinilah Ustadz Hartono Ahmad Jaiz merasakan bahwa Radio Silaturahim (Rasil) pro syi’ah. Dan menurutnya hal ini bukan hanya didasarkan pada pernyataan ustadz Zen Al-Hady saja, tetapi selama ini di Rasil ada sosok narasumber bernama ustadz Husin Alatas yang oleh umat Islam diidentifikasi sebagai salah satu misionaris Syi’ah.

Menurut Ustadz Hartono, indikasi syi’ah yang bisa ditemukan pada diri Ustad Husen Alatas antara lain ketika Ustadz Husen Alatas menjawab sebuah pertanyaan dari pendengar yang dibacakan pembawa acara Rasil AM720, yang terjadi pada Selasa malam (sekitar jam 23:00 wib) tanggal 25 Oktober 2011 (28 Dzulqa’dah 1432H), ia menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan syahwat paham sesat Syi’ah yang cenderung meremehkan Imam Bukhari dan Muslim yang diakui otoritasnya oleh ummat Islam di dunia sebagai perawi hadits shahih.

Ustadz Husen Alatas kala itu pernah mengatakan salah satu hadits riwayat Muslim dengan tudingan sebagai hadits palsu. Yaitu, hadits yang isinya antara lain mengatakan bahwa “orang tua Nabi di neraka”. Juga, ada satu hadits riwayat Bukhari yang dikatakannya menjijikkan. Yaitu, salah satu hadits yang mengatakan bahwa “Fathimah datang ke Nabi Muhammad dan berkata agar Nabi bersikap adil kepada istri-istrinya sebagaimana kepada Aisyah, dan ketika Fathimah datang kepada Nabi Muhammad, beliau sedang berada di pangkuan Aisyah”.

Bahkan, ustadz Husen Alatas seperti tidak mengakui eksistensi dan otoritas Imam Bukhari dan Muslim dengan seolah-olah memposisikan keduanya sebagai bukan termasuk ulama yang berhak menilai shahih tidaknya hadits. Karena menurut Husen Alatas, Bukhari dan Muslim hanya mengumpulkan riwayat. Sedang yang menentukan shahih atau tidaknya hadits adalah ulama rabbaniyyin berdasarkan Al-Qur’an dan akal. Husen Alatas mereduksi otoritas Imam Bukhari dan Muslim hanya sebagai pengumpul riwayat (hadits). Ini salah satu ciri khas watak penganut paham sesat Syi’ah yang senantiasa menentang hadits Bukhari dan Muslim.

Contoh lain yang mempertegas kaitan ustadz Husen Alatas dengan Syi’ah adalah sebagaimana diungkap dalam buku berjudul Aliran dan Paham Sesat di Indonesia yang terbit sejak 2002, bahwa ustadz Husen Alatas cukup aktif menghadiri acara-acara yang diselenggarakan kalangan syi’ah di gedung Darul Aitam, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Sementara itu, mengenai Ustadz Zen Al-Hady, yang juga pernah menjadi nara sumber di Rasil AM 720, masyarakat sudah lama mengenali beliau sebagai misionaris Syi’ah, antara lain melalui kedudukannya sebagai Dewan Pembina di Yayasan Fathimah yang bermarkas di Jalan Batu Ampar III No.14, Condet, Jakarta Timur 13520. Yayasan Fathimah adalah salah satu dari sekian puluh Yayasan Syi’ah yang bertebaran di Indonesia.

Dengan keberadaan Ustadz Zen Al-Hady, dan Ustadz Husen Alatas yang track recordnya telah dikenali sebagai misionaris faham sesat syi’ah, dan jika keduanya dijadikan nara sumber oleh Rasil AM 720, maka munculah pertanyaan apakah Radio Silaturrahim Pro Syi’ah?

Wallahu’alam bis showab!

(M Fachry/arrahmah.)

Selasa, 03 April 2012

Hargai Waktu, Jangan Abaikan Akhiratmu

Selasa, 03 April 2012
Oleh: Kholili Hasib
DALAM Islam, waktu itu adalah amal sholih. Waktu itu bukanlah uang seperti kata sebuah adagium, time is money. Di sini, amal sholih menjadi tujuan utama, bukan materi. Bukan berarti Islam anti-uang. Akan tetapi yang lebih tepat kita katakan, uang/materi menjadi sarana untuk beramal sholih, bukan tujuan utama (big goal). Jika uang menjadi big goal, maka materialisme menjadi pemahaman kita. Adagium “time is money”, adalah prinsip kaum materialism.

Orang yang tidak memanfaatkan waktu-waktu luangnya, oleh al-Qur’an disebut sebagai orang yang merugi.

أَن تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَى علَى مَا فَرَّطتُ فِي جَنبِ اللَّهِ وَإِن كُنتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ ﴿٥٦

“Supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah).” (QS. Al-Zumar: 56).

Orang merugi adalah orang yang tidak memanfaatkan aktifitasnya untuk kehidupan abadi, yaitu hidup setelah mati. Betapa kita terlalu lalai memanfaatkan aktifitas mulya ini.

Berapa lama kita membaca al-Qur’an atau membaca buku-buku. Bandingkan dengan lamanya kita duduk di warung kopi dan trotoar jalan, sekedar ngobrol, ngerumpi dan menghabiskan waktu luang. Berapa jam kita menonton TV dan tidur. Bandingkan dengan lamanya kita beribadah. Berapa lama pula kita meeting bisnis, bandingkan dengan berapa lama kita duduk di majelis ilmu dan majelis-majelis mengingat Allah. Sungguh banyak waktu yang terlewat sia-sia.

Penyesalan dalam ayat tersebut karena lalai menunaikan kewajiban Allah dan memandang rendah agama Allah. Dua hal tersebut disebabkan waktu yang tidak dimanfaatkan dengan baik atau waktu luang digunakan untuk hal yang tidak baik.

Lebih berbahaya lagi jika waktu disia-siakan untuk mengerjakan perbuatan yang dimurkai-Nya. Jadi, dalam managemen waktu, ada dua pilihan; menyibukkan dengan kebenaran dan menyibukkan dengan perkara yang dimurkai. Waktu kosong yang digunakan untuk hal-hal yang tidak berguna, pada akhirnya akan mengantarkan kepada kegiatan-kegiatan yang dimurkai.

Imam al-Syafi’i pernah mengatakan: “Jika Anda tidak menyibukkan diri anda dengan kebenaran, maka ia (waktu) akan menyibukkan Anda dengan kebatilan.”

Oleh sebab itu, dalam pengisian waktu sesungguhnya terjadi pertempuran sengit antara setan dan hati kita. Hal yang paling penting untuk menjaga kehidupan kita adalah menyusun rencana-rencana dan program yang akan mengisi waktu. Dan tidak memberi sedikitpun celah kepada setan untuk ikut beraktifitas dalam sela-sela waktu kita.

Jika kebenaran yang menguasai celah-celah dalam waktu kita, maka ia akan membangkitkan potensi yang terpendam dalam diri manusia. Sebaliknya jika kebatilan jadi penguasa waktu, maka tunggulah kerusakannya.

Bagaimana belajar memangemen waktu? Bagi awam dan pelajar pemula, para ulama’ memberi petunjuk sederhana, yaitu mendisplinkan shalat tepat pada waktunya. Sesungguhnya amal ibadah yang efektif dalam mendidik disiplin waktu itu shalat jama’ah tepat pada waktunya.

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُواْ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً

Allah berfirman:”Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalatmu, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu. Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisa’: 103).

Disiplin shalat lima waktu bisa menjadi media pembelajaran memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kita bisa mendidik diri atau anak dan murid kita dengan ini. Sesudah shalat, diisi dengan dizikir dan membaca al-Qur’an.

Jika kita mampu mengatur waktu ini dimulai dengan disiplin shalat, maka lambat laun ibadah-ibadah lainya akan tertunaikan dengan disiplin. Inilah yang disebut Allah sebagai orang yang tidak merugi.

Allah SWT menyebutkan sifat-sifat orang yang beruntung, yaitu mereka yang mampu menjaga waktunya dengan beriman dan beramal sholeh.

وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih serta saling menasihati supaya mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3).

Dalam ayat ini kita bisa menarik pelajaran penting mengenai waktu. Yaitu isilah waktu itu dengan empat hal; menjaga iman, mengerjakan amal sholih, menasihati dalam kebenaran dan menasihati dalam kesabaran.

Tidaklah Iman itu akan bisa menjadi benar kecuali dengan ilmu. Karena ilmu merupakan cabang dari iman tersebut dan tidak sempurna iman seseorang kecuali jika dia memiliki ilmu. Oleh karenanya, mengisi waktu luang dengan menambah ilmu itu sangat mulia.

Amal sholeh yang mencakup semua kebaikan, mulai dari kebaikan yang bersifat dzahir hingga kebaikan yang bersifat bathin, dimana hal itu berkaitan dengan hak-hak Allah dan hak-hak hambanya baik hal-hal yang hukumnya bersifat wajib ataupun yang bersifat anjuran.

Aktifitas lain yang penting adalah saling menasehati dalam hal kebenaran dan kesabaran. Ketika sedang ngobrol dan duduk-duduk santai, alangkah baiknya digunakan dengan mengucapkan kalimat-kalimat nasihat, mendorong saudara dan teman untuk memperbaiki kualitas kehidupan. Menasehati untuk bersabar dalam menjalankan ibadah. Sabar dalam menuntut ilmu dan menghadapi tantangan kehidupan.

Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa waktu itu adalah amanah Allah yang diembankan kepada manusia. Kita pasti akan pasti akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Simak sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam ini: “Tidak akan beranjak kaki seorang hamba di akhirat kecuali setelah ditanya tentang empat perkara; ditanyakan tentang umurnya lalu bagaimana ia menggunakannya dan ditanyakan kepadanya tentang ilmu yang didapatkannya lalu apa yang dilakukannya dengan ilmu tersebut, ditanyakan kepadanya tentang harta yang ia dapatkan dari mana ia mendapatkannya dan kemana harta itu dibelanjakan dan ditanyakan kepadanya tentang jasadnya lalu kemana dipergunakannya.” (HR.Tirmidzi, hadis shohih).

Pantas saja Imam Fakhruddin al-Razi begitu menghargai waktu setinggi-tingginya. Tiada celah sedikitpun ia berikan untuk hal-hal yang tidak berguna. Ia pernah mengatakan: “Demi Allah, sungguh aku sedih karena kehilangan banyak waktu kesempatan mempelajari ilmu di saat makan. Sesungguhnya waktu dan zaman itu mulya.”

Penulis alumni ISID Gontor Ponorogo, kini peneliti Inpas Surabaya

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites