Rabu, 15 Februari 2012

TAFSIR SURAT AT TIIN

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

TAFSIR SURAT AT TIIN

وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ {1} وَطُورِ سِينِينَ {2} وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ {3} لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ {4} ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ {5} إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ {6} فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ {7} أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ {8}‏

(1) Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.
(2) Dan demi Bukit Sinai.
(3) Dan demi kota (Mekkah) ini yang aman.
(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
(5) Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
(6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
(7) Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
(8) Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? Surat yang mulia ini adalah makkiyah[1].

Pada ayat pertama surat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan At Tin dan Az Zaitun[2]. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan At Tin dan Az Zaitun[3], namun tidak ada satupun pendapat mereka yang berdasar pada dalil yang shahih,[4] kecuali pendapat yang mengatakan bahwa At Tin adalah buah At Tin yang (sudah dikenal dan) biasa dimakan, dan Az Zaitun adalah (juga) buah Az Zaitun yang biasa diperas darinya minyak Zaitun.[5] Hal ini sesuai dengan sebuah riwayat yang telah dikeluarkan oleh Al Hakim dengan sanadnya, dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ

Beliau berkata:

الفَاكِهَةُ الَّتِيْ يَأْكُلُهَا النَّاسُ

“Buah yang (biasa) dimakan orang-orang”.[6]

Demikian pula Al Bukhari di dalam shahihnya,[7] membawakan perkataan Mujahid yang serupa dengan perkataan Ibnu Abbas ini.

Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan Thuur Siiniin, yaitu sebuah bukit yang padanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada Musa ‘alaihissalam .[8]

Dan berikutya Allah bersumpah dengan Al Balad Al Amin, yaitu Makkah.[9]

Lalu, mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut? Para ulama tafsir menerangkan sebab-sebabnya yang diantaranya; karena kedua tumbuhan tersebut (At Tin dan Az Zaitun) banyak mengandung manfaat, baik pada pohonnya maupun buahnya, dan karena keduanya sangat tumbuh subur dan baik di Syam, yang merupakan tempat diutusnya Nabi Isa ‘alaihissalam menjadi seorang rasul. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan sebuah bukit, karena di tempat itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada Nabi Musa dan mengutusnya menjadi seorang rasul. Adapun mengapa Allah bersumpah dengan Al Balad Al Amin? Itu karena Mekkah adalah sebuah negeri yang aman bagi orang memasukinya, juga karena di tempat itulah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi seorang rasul. dari sini, jelaslah mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut? Itu karena ketiga tempat tersebut adalah tempat-tempat yang disucikan yang Ia pilih, dan telah diutus padanya rasul-rasulNya yang paling mulia.[10]

Ayat berikutnya adalah jawaban dari sumpahNya terhadap hal-hal tadi,[11] bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia dalam bentuk dan sifat yang sebaik-baiknya, dengan seluruh anggota tubuh yang seimbang, sempurna, dan tidak kekurangan suatu apapun. Dan semuanya itu menunjukkan atas kekuasaan Allah yang mutlak atas penciptaan dan pengembalian manusia pada hari kebangkitan.[12]

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”

Pada ayat pertama dari kedua ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan tentang keadaan kebanyakan manusia yang kufur terhadap nikmat yang telah Ia berikan kepadanya berupa bentuk fisik yang sempurna dan baik. Maka sudah sewajibnya seorang manusia bersyukur atas nikmat ini, namun justru kebanyakan manusia lalai dan lupa terhadap penciptanya yang telah memberikan kenikmatan-kenikmatan yang tak terbilang, mereka sibuk dengan bermain-main dan hal-hal yang melalaikan mereka. Mereka ridha dengan perkara-perkara rendah dan akhlak-akhlak buruk yang merusak diri mereka sendiri. Akhirnya Allahpun mengembalikan mereka ke dalam neraka yang paling bawah, tempatnya ahli maksiat yang membangkang dan menentang perintah-perintah Allah.[13] Kecuali orang-orang yang beriman, yang telah diberikan oleh Rabb mereka keutamaan berupa keimanan, amal yang shalih, dan akhlak yang tinggi dan mulia. Maka bagi mereka derajat yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan pahala dariNya yang tiada henti-hentinya terus mengalir kepada mereka dan tanpa terputus. Bahkan mereka terus mendapatkan kelezatan-kelezatan yang terus-menerus, kebahagiaan yang tiada habis-habisnya, dan kenikmatan-kenikmatan tak terhingga yang abadi dan kekal selama-lamanya.[14]

Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ

“Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?”

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya dan menegaskan kembali kepada manusia yang telah diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, sempurna dan utuh tanpa kekurangan suatu apapun, namun di antara manusia masih ada yang kufur terhadap nikmat-nikmat Rabbnya dan ingkar terhadap hari pembalasan,”Apa yang membuatmu dan menyebabkanmu wahai anak Adam mendustakan dan mengingkari hari pembalasan terhadap seluruh amal perbuatan, padahal kamu telah mengetahui kekuasaan Rabbmu yang mampu menciptakanmu dengan baik dan sempurna? Bukankah Ia yang telah menciptakanmu jauh lebih mampu untuk menghidupkanmu kembali dan membalas amal-amalmu? Apa yang membuatmu mendustakan semua ini sedangkan kamu mengetahui kebenarannya?[15]

Dan di akhir surat At Tiin ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?”

Allah Subhanahu wa Ta’ala kembali bertanya dalam ayat ini yang maknanya, “Apakah adil dan sesuai dengan hikmahNya jika Ia menciptakan makhlukNya untuk kemudian dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja tanpa diperintah dan dilarang, dan tanpa diberikan balasan baik ataupun buruk? Ataukah sesuai keadilan dan hikmahNya itu, jika Ia Yang Maha Pencipta dengan tahapan demi tahapan penciptaan, kemudian Ia memberikan seluruh nikmat-nikmatNya yang tiada terbilang, lalu membimbing mereka dengan bimbingan yang baik dan bijaksana, dan akhirnya Ia mengembalikan mereka kepada tujuan dan inti kehidupan mereka, yaitu akhirat yang kepadanyalah orang-orang beriman menuju?”[16]

Ada sebuah hadits yang erat kaitannya dengan ayat terakhir ini. Yang mungkin hadits ini dijadikan hujjah oleh sebagian mereka yang beranggapan akan sunnahnya hukum membaca lafazh (بَلَى، وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ), atau lafazh (سُبْحَانَكَ فَبَلَى) tatkala seseorang membaca surat At Tiin ini sampai pada penghujung ayatnya.

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, Ahmad, dan lain-lainnya[17]dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , beliau berkata:

مَنْ قَرَأَ : وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِ ، فَقَرَأَ : أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ ، فَلْيَقُلْ : بَلَى ، وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ .

“Barangsiapa yang membaca ‘Wat tiini waz Zaituun’ sampai ia membaca ‘Alaisallaahu bi Ahkamil Haakimiin’ ; maka hendaknya ia mengucapkan: ‘Balaa Wa Ana ‘Alaa Dzaalika minasy Syaahidiin’ (Ya, dan aku atas hal itu termasuk orang-orang yang bersaksi).”[18]

Namun hadits ini dha’if, sebagaimana yang telah dihukumi oleh Asy Syaikh Al Albani[19], disebabkan pada sanadnya terdapat perawi (dan ia bukan seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -pen) yang mubham.[20]

Adapun ayat yang disunnahkan padanya untuk dibacakan lafazh-lafazh tadi atau yang semakna dengannya, adalah ayat terakhir pada surat Al Qiyamah, yaitu:

أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَن يُحْيِيَ الْمَوْتَى .

“Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?”[Al Qiyamah: 40].

Hal ini berdasarkan hadits lain yang dikeluarkan oleh Abu Dawud[21] dengan sanadnya dari Musa bin Abi A’isyah, ia berkata:

كَانَ رَجُلٌ يُصَلِّي فَوْقَ بَيْتِهِ ، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ : أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى ، قَالَ: سُبْحَانَكَ فَبَلَى، فَسَأَلُوْهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ : سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Ada seseorang yang melakukan shalat di atas rumahnya, dan apabila ia membaca (Alaisa Dzaalika bi Qaadirin ‘Alaa Ay Yuhyiyal Mawtaa), ia berkata (setelahnya): Subhaanaka Fa Balaa (Ya dan Maha Suci Engkau). (Lalu) mereka menanyakan tentang hal ini kepada orang tersebut, (dan) iapun berkata: Aku telah mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Berkenaan dengan hadits ini, Al Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Abu Dawud telah menyendiri dalam periwayatan hadits ini, dan (pada sanadnya) ada perawi shahabi[22] yang tidak disebutkan namanya, namun ini tidak bermasalah.”[23]

Asy Syaikh Al Albani berkata pula: “(Hadits ini) dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih, dari seseorang, yang ia adalah shahabi,[24] dan jahaalahnya[25] tidak bermasalah, sebagaimana yang sudah diketahui (akan hal ini) oleh ulama. Oleh karena itu, aku keluarkan hadits ini di dalam Shahih Sunan Abi Dawud (no. 827).”[26]

Demikian tafsir singkat surat At Tiin ini, mudah-mudahan menjadi penambah ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan yang membacanya.

Wallahu a’lam bish shawaab.



Penulis: Ustadz Abu Abdillah Arief Budiman bin Usman Rozali
Sumber : www.UstadzArif.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites