Masjid Nurul Haq

Masjid Nurul Haq dibangun dengan biaya swadaya dari Masyarakat RW. 09 Blok Rawalumbu, Bekasi, tempat ibadah warga RW. 09 terletak di antara RT. 4, RT 5 dan RT. 6. Kegiatan Majelis Taqlim Bapak-Bapak, Ibu-Ibu RW. 09 dan Tempat TPA bagi anak-anak...

Dzikir-dzikir setelah Sholat

Di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah diterangkan tentang keutamaan berdzikir kepada Allah, baik yang sifatnya muqayyad (tertentu dan terikat) yaitu waktu .....

Tafsir Surah At-Tin

Pada ayat pertama surat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan At Tin dan Az Zaitun.

Hargai Waktu, Jangan Abaikan Akhiratmu

DALAM Islam, waktu itu adalah amal sholih. Waktu itu bukanlah uang seperti kata sebuah adagium, time is money. Di sini, amal sholih menjadi tujuan utama, bukan materi. Bukan berarti Islam anti-uang. Akan tetapi yang lebih tepat kita katakan, uang/materi menjadi sarana untuk beramal sholih, bukan tujuan utama (big goal). Jika uang menjadi big goal, maka materialisme menjadi pemahaman kita. Adagium “time is money”, adalah prinsip kaum materialism. .....

Inilah Wahhabi Sesungguhnya..!!!

Wajib diketahui oleh setiap kaum Muslimin dimanapun mereka berada bahwasanya firqoh Wahabi adalah Firqoh yang sesat, yang ajarannya sangat berbahaya bahkan wajib untuk dihancurkan. Tentu hal ini membuat kita bertanya-tanya, mungkin bagi mereka yang PRO akan merasa marah dan sangat tidak setuju, dan yang KONTRA mungkin akan tertawa sepuas-puasnya.. Maka siapakah sebenarnya Wahabi ini??

Rabu, 29 Februari 2012

Menguak Keutamaan Wudhu

Islam adalah agama yang memiliki syariat yang indah. Faedah dan pahala melaksanakan syariat Allah akan kembali pada umatnya. Di antara syariat Islam yang indah itu adalah wudhu. Wudhu disyariatkan ketika seseorang akan melaksanakan shalat, thawaf di Baitullah dan menyentuh mushaf serta ibadah lainnya.

Di dalam wudhu terkandung sebuah hikmah yang mengisyaratkan kepada kita bahwa hendaknya seorang muslim memulai ibadah dan kehidupannya dengan kesucian lahir dan batin. Sebab asal kata ini sendiri berasal dari kata yang mengandung makna kebersihan dan keindahan ( الحسن والنظافة ) sebagaimana yang dijelaskan para ahli bahasa Arab. [Lihat An-Nihayah (5/428), dan Ash-Shihhah (2/282)]

Syari’at Kesucian ini mengumpulkan banyak hikmah, faedah, dan fadhilah (keutamaan) yang menjelaskan urgensi dan kedudukannya di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Sebab suatu amalan jika memiliki banyak faedah dan fadhilah, maka tentunya karena memiliki makanah aliyah (kedudukan tinggi).



Wudhu’ disyari’atkan bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga disyari’atkan dalam seluruh kondisi. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar selalu berada dalam kondisi bersuci (wudhu’) sebagaimana yang dahulu yang dilazimi oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu, baik dalam kondisi senang atau dalam kondisi susah dan kurang menyenangkan (seperti, saat musim hujan dan musim dingin).

Kebiasaan berwudhu’ ini butuh kepada kesabaran tinggi, sebab kita terkadang terserang perasaan malas. Perasaan malas ini akan hilang –Insya Allah- saat kita mengetahui keutamaan wudhu’.

Diantara keutamaan-keutamaan wudhu’ yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah shohihah dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :

Syarat Memasuki Sholat

Seorang ketika hendak memasuki sebuah rumah atau gedung, maka ia akan melewati pintu-pintu yang ada padanya. Pintu ini biasanya tak bisa dilewati, kecuali seseorang memiliki kunci untuk membuka pintu-pintu itu. Sebelum seseorang masuk ke dalam rumah tersebut, maka ada syarat yang harus dipenuhi. Demikianlah perumpamaan wudhu’ bagi sholat; seorang tak mungkin akan masuk dalam sebuah sholat, kecuali ia memenuhi syarat-syarat sholat, seperti wudhu’.

Oleh karena itu, Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki". (QS. Al-Maa’idah: 6)

Jadi, jika seseorang hendak sholat, maka syaratnya harus berwudhu’ sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam ayat ini dan diterangkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sunnahnya.

Bila seorang yang masuk dalam sholat, tanpa wudhu’, maka sholatnya tak akan diterima, bahkan tak sah, sebab wudhu’ adalah syarat sahnya wudhu’, dan tercapainya pahala sholat. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

"Tak akan diterima sholatnya orang yang ber-hadats sampai ia berwudhu’" . [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (135 & 6954), dan Muslim dalam Shohih-nya (536)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan beberapa faedah dari hadits ini, "Hadits ini dijadikan dalil tentang batalnya sholat disebabkan oleh hadats (seperti, kentut, buang air, junub dan lainnya), baik hadats itu keluar karena pilihan (sadar), maupun terpaksa". [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (1/309), tahqiq Ali Asy-Syibl, cet. Darus Salam, 1421 H]

Penghapus Dosa Kecil & Pengangkat Derajat

Wudhu adalah amalan ringan, tapi pengaruhnya ajaib dan luar biasa. Selain menghapuskan dosa kecil, wudhu’ juga mengangkat derajat dan kedudukan seseorang dalam surga. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ

"Maukah kalian aku tunjukkan tentang sesuatu (amalan) yang dengannya Allah menghapuskan dosa-dosa, dan mengangkat derajat-derajat?" Mereka berkata, "Mau, wahai Rasulullah!!" Beliau bersabda, "(Amalan itu) adalah menyempurnakan wudhu’ di waktu yang tak menyenangkan, banyaknya langkah menuju masjid, dan menunggu sholat setelah menunaikan sholat. Itulah pos penjagaan". [HR. Muslim (586)]

Abul Hasan As-Sindiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan amalan-amalan yang terdapat dalam hadits ini, "Amalan-amalan ini akan menutup pintu-pintu setan dari dirinya, menahan jiwanya dari nafsu syahwatnya, permusuhan jiwa, dan setan sebagaimana hal ini tak lagi samar. Inilah jihad akbar (besar) yang terdapat pada dirinya. Jadi, setan adalah musuh yang paling berat baginya". [Lihat Hasyiyah As-Sindiy ala Sunan An-Nasa'iy (1/114)]

Jadi, seorang yang melazimi amalan-amalan tersebut dianggap telah melakukan pertahanan untuk menutup pintu-pintu setan. Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari setan, maka hendaknya ia melazimi wudhu’, menghadiri sholat jama’ah, dan bersabar menunggu sholat jama’ah lainnya.

Tanda Pengikut Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengabarkan kepada kita bahwa beliau akan mengenali ummatnya di Padang Mahsyar dengan adanya cahaya pada anggota tubuh mereka, karena pengaruh wudhu’ mereka ketika di dunia.

تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنْ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ

"Perhiasan (cahaya) seorang mukmin akan mencapai tempat yang dicapai oleh wudhu’nya". [Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Tablugh Al-Hilyah haits Yablugh Al-Wudhu' (585)]

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْمَقْبُرَةَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ فَقَالُوا كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ الْوُضُوءِ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا

"Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendatangi pekuburan seraya bersabda, "Semoga keselamatan bagi kalian wahai rumah kaum mukminin. Aku sangat ingin melihat saudara-saudara kami". Mereka (para sahabat) berkata, "Bukankah kami adalah saudara-saudaramu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Kalian adalah para sahabatku. Sedang saudara kami adalah orang-orang yang belum datang berikutnya". Mereka berkata, "Bagaimana anda mengenal orang-orang yang belum datang berikutnya dari kalangan umatmu wahai Rasulullah?"

Beliau bersabda, "Bagaimana pandanganmu jika seseorang memiliki seekor kuda yang putih wajah, dan kakinya diantara kuda yang hitam pekat. Bukankah ia bisa mengenal kudanya". Mereka berkata, "Betul, wahai Rasulullah". Beliau bersabda, "Sesungguhnya mereka (umat beliau) akan datang dalam keadaan putih wajah dan kakinya karena wudhu’. Sedang aku akan mendahului mereka menuju telaga. Ingatlah, sungguh akan terusir beberapa orang dari telagaku sebagaimana onta tersesat terusir. Aku memanggil mereka, "Ingat, kemarilah!!" Lalu dikatakan (kepadaku), "Sesungguhnya mereka melakukan perubahan setelahmu". Lalu aku katakan, "Semoga Allah menjauhkan mereka". [HR. Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Istihbab Itholah Al-Ghurroh (583)]

Seorang muslim akan dikenali oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan cahaya pada wajah dan tangannya. Maka hendaknya setiap orang diantara kita menjaga cahaya ini dengan menjaga wudhu, dan sholat. Abdur Ra’uf Al-Munawiy -rahimahullah- berkata, "Barangsiapa yang lebih banyak sujudnya atau wudhu’nya di dunia, maka wajahnya nanti akan lebih bercahaya dan lebih berseri dibandingkan selain dirinya. Maka mereka (kaum mukminin) nanti disana akan bertingkat-tingkat sesuai besarnya cahaya". [Lihat Faidhul Qodir (2/232)]

Separuh Iman

Seorang tak akan meraih pahala sholat, selain ia melakukan wudhu’, lalu mengerjakan sholat. Jadi, wudhu’ ibaratnya separuh dari iman (yakni, sholat). Ini menunjukkan kepada kita tentang ketinggian nilai dan manzilah wudhu’ di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآَنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالصَّلَاةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا

"Bersuci (wudhu’) adalah separuh iman. Alhamdulillah akan memenuhi mizan (timbangan). Subhanallah wal hamdulillah akan memenuhi antara langit dan bumi. Sholat adalah cahaya. Shodaqoh adalah tanda. Kesabaran adalah sinar. Al-Qur’an adalah hujjah (pembela) bagimu atau hujatan atasmu. Setiap orang keluar di waktu pagi; maka ada yang menjual dirinya, lalu membebaskannya atau membinasakannya". [Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Fadhl Ath-Thoharoh (533)]

Al-Hafizh Ibnu Rojab -rahimahullah- berkata, "Jika wudhu’ bersama dua kalimat syahadat mengharuskan terbukanya pintu surga, maka wudhu menjadi separuh iman kepada Allah dan Rasul-Nya menurut tinjauan ini. Juga wudhu’ termasuk cabang-cabang keimanan yang tersembunyi yang tak akan dilazimi, kecuali seorang mukmin". [Lihat Iqozhul Himam (hal. 329)]

Jalan Menuju Surga

Jalan-jalan surga telah dimudahkan oleh Allah -Azza wa Jalla- bagi orang yang Allah berikan taufiq dan hidayah. Perhatikan Bilal bin Robah -radhiyallahu anhu-, beliau mendapatkan kabar gembira bahwa ia termasuk penduduk surga, sebab ia telah berusaha menapaki sebuah jalan diantara jalan-jalan surga. Dengarkan kisahnya dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ

"Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda kepada Bilal ketika sholat Fajar, "Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan yang pernah engkau amalkan dalam Islam, karena sungguh aku telah mendengarkan detak kedua sandalmu di depanku dalam surga". Bila berkata, "Aku tidaklah mengamalkan amalan yang paling aku harapkan di sisiku. Cuma saya tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku sholat bersama wudhu’ itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku". [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Jum'ah, Bab: Fadhl Ath-Thoharoh fil Lail wan Nahar (1149), dan Muslim (6274)]

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa berwudhu’ lalu sholat sunnah setelahnya merupakan amalan yang berpahala besar. Ibnul Jauziy -rahimahullah- berkata, "Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk melakukan sholat usai berwudhu’ agar wudhu tidak kosong (terlepas) dari maksudnya". [Lihat Fathul Bari (4/45)]

Pelepas Ikatan Setan

Setan senantiasa mengintai dan mengawasi kita. Bahkan ia selalu mencari jalan untuk menjauhkan kita dari kebaikan yang telah digariskan oleh Allah dan rasul-Nya. Diantara makar setan, ia membuat buhul pada seorang diantara kita saat kita tidur agar kita berat bangun beribadah. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ فَإِنْ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ

"Setan membuat tiga ikatan pada tengkuk seorang diantara kalian jika ia tidur. Setan akan memukul setiap ikatan itu (seraya membisikkan), "Bagimu malam yang panjang, maka tidurlah". Jika ia bangun seraya menyebut Allah (berdzikir), maka terlepaslah sebuah ikatan. Jika ia berwudhu’, maka sebuah ikatan yang lain terlepas. Jika ia sholat, maka sebuah ikatan akan terlepas lagi. Lantaran itu, ia akan menjadi bersemangat lagi baik jiwanya. Jika tidak demikian, maka ia akan jelek jiwanya lagi malas". [HR. Al-Bukhoriy (1142 & 3269) dan Muslim (1816)]

Al-Qodhi Abul Walid Sulaiman bin Kholaf Al-Bajiy -rahimahullah- berkata, "Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memaksudkan dengan hadits ini bahwa dengan dzikrullah, wudhu’, dan sholat, maka semua ikatan (buhul) setan akan terlepas, dan seorang muslim akan selamat dari makar setan, dan keburukan buhul-buhulnya. Lantaran itu, ia akan bersemangat di waktu pagi, (sedang ia telah terlepas darinya buhul-buhul yang telah membuat dirinya malas), dan jiwanya menjadi baik dengan sebab amalan kebajikan yang ia lakukan semalam". [Lihat Al-Muntaqo (1/434) karya Al-Bajiy]

Para pembaca budiman, inilah beberapa buah petikan fadhilah dan keutamaan wudhu. Semoga menjadi pendorong bagi kita semua untuk melazimi wudhu’ demi meraih keutamaann-keutamaan tersebut di atas. Kami memohon kepada Allah agar Dia menjadikan kita sebagai ummat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang dikenali dengan cahaya wudhu’.

source: buletin dakwah An-Nur dan Buletin Jumat At-Tauhid.........

Rabu, 22 Februari 2012

SHALAT-SHALAT SUNNAH

A. Keutamaannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَـابَ وَخَسِرَ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَةٍ شَيْئًا، قَـالَ الرَّبُّ تَبَـارَكَ وَتَعَالَى: اُنْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَيُكَمَّلُ بِهِ مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى نَحْوِ ذَلِكَ.

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka beruntung dan selamatlah dia. Namun, jika rusak, maka merugi dan celakalah dia. Jika dalam shalat wajibnya ada yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci dan Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Jika ia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian dihisablah seluruh amalan wajibnya sebagaimana tadi.” [1]B. Disunnahkan Mengerjakannya di Rumah
Dari Jabir, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ فِـي مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيْباً مِنْ صَلاَتِهِ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ نُوْرًا

“Jika salah seorang di antara kalian telah menunaikan shalat di masjidnya, maka hendaklah ia memberi jatah shalat bagi rumahnya. Karena sesungguhnya Allah menjadikan cahaya dalam rumahnya melalui shalatnya.” [2]

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِي بُيُوْتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ.

“Kerjakanlah shalat (sunnah) di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat wajib.” [3]

C. Macam-Macamnya
Shalat sunnah ada dua bagian: Muthlaqah dan Muqayyadah
Muthlaqah adalah yang dikenal dengan sunnah rawatib, yaitu yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib. Ia terdiri dari dua bagian: muakkadah (yang ditekankan) dan ghairu muakkadah (tidak ditekankan).

1. Shalat sunnah muakkadah ada sepuluh raka’at
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku ingat sepuluh raka’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya. Dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya', serta dua raka’at sebelum shalat Shubuh. Pada saat itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mau ditemui. Hafshah Radhiyallahu anhuma menceritakan padaku bahwa jika mu-adzin mengumandangkan adzan dan fajar (yang kedua) telah terbit, beliau shalat dua raka’at." [4]

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka’at sebelum shalat Zhuhur, dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh.” [5]

2. Shalat sunnah ghairu muakkadah: Dua raka’at sebelum shalat ‘Ashar, Maghrib, dan 'Isya'.
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، ثُمَّ قَـالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ.

“Di antara dua adzan (antara adzan dan iqamat-ed.) ada shalat, di antara dua adzan ada shalat.” Kemudian beliau berkata pada kali yang ketiga, “Bagi siapa saja yang menghendakinya.”[6]

Disunnahkan untuk menjaga empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar. Beliau memisahkan antara raka’at-raka’at tadi dengan mengucapkan salam pada para Malaikat muqarrabiin (yang didekatkan kepada Allah), dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan muslimin dan mukminin.” [7]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

رَحِمَ اللهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا.

“Semoga Allah merahmati orang yang shalat empat raka’at sebelum ‘Ashar.” [8]

Riwayat yang mengabarkan bacaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebagian shalat tersebut

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

نِعْمَتِ السُّوْرَتَانِ يُقْرَأُ بِهِمَا فِي رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَقُلْ يَآ أَيُّهَا اْلكَافِرُوْنَ.

“Dua surat yang paling baik dibaca pada dua raka’at sebelum Shubuh adalah qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) dan qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun). [9]

Dari Abu Hurairah Radhiyalllahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sebelum Shubuh.” [10]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Pada dua raka’at shalat sunnah fajar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membaca: quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa, yaitu ayat dalam surat al-Baqarah pada raka’at pertama. Dan pada raka’at terakhir: aamannaa billaahi wasyhad bi annaa muslimuun." [11] (Ali ‘Imran: 52).

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku tidak bisa menghitung berapa kali aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca: qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sesudah Maghrib dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh." [12]
Sumber : www.almanhaj.or.id
------------
Foot note :
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 451, 452)], Sunan at-Tirmidzi (I/258 no. 411), Sunan an-Nasa-i (I/232).
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 375)], Shahiih Muslim (I/239 no. 778).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/517 no. 6113)], Shahiih Muslim (I/539 no. 781), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/321 no. 1434) dan Sunan an-Nasa-i (III/198).
[4]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 440)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/58/ no. 1180, 1180), ini adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (I/271 no. 431), dengan lafazh hampir serupa.
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1658)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/58 no. 1182), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/134 no. 1240) dan Sunan an-Nasa-i (III/251).
[6]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/110 no. 627)], Shahiih Muslim (I/573 no. 838), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/162 no. 1269), Sunan at-Tirmidzi (I/120 no. 185), Sunan an-Nasa-i (II/28), Sunan Ibni Majah (I/368 no. 1162).
[7]. Hasan: Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 353)], Sunan at-Tirmidzi (I/269 no. 427).
[8]. Hasan: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 354)], Sunan at-Tirmidzi (I/270 no. 428), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/149 no. 1257).
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 944)], Shahiih Ibni Khuzaimah (II/163 no. 1114), Ahmad (al-Fat-hur Rabbani) (IV/225 no. 987), Sunan Ibni Majah (I/363 no. 1150).
[10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 360)], Shahiih Muslim (I/502 no. 726), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/135 no. 1243), Sunan an-Nasa-i (II/156), Sunan Ibni Majah (I/363 no. 1148).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 905)], Shahiih Muslim (I/502 no. 727), Sunan an-Nasa-i (II/155), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/137 no. 1246).
[12]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 355)], Sunan at-Tirmidzi (I/ 270 no. 429).

Kamis, 16 Februari 2012

Syirik

Syirik adalah memberikan sesuatu yang merupakan hak Allah kepada selain Allah, seperti meyakini ada pemberi rizki lain selain Allah atau menyembelih untuk selain Allah. Syirik ini patut diwaspadai dan ditakuti, karena bahayanya besar sekali dan merugikan, dunia dan akhirat. Di antara bahaya syirik adalah: 

 Dosa yang Tidak Diampuni oleh Allah

Bila pelakunya membawanya mati, yakni semasa hidup dia tidak bertaubat darinya, sebagaimana Allah berfirman,artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.” (An-Nisa`: 48).

Ibnu Katsir berkata, “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia “tidak akan mengampuni dosa syirik,” yakni Dia tidak mengampuni seorang hamba yang kembali kepadaNya sebagai musyrik. “dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik bagi siapa yang dikehendakiNya.” Yakni dosa-dosa kepada hamba-hambaNya yang Dia kehendaki.”

Jelaslah dengan ayat ini bahwa syirik adalah dosa terbesar, karena Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak mengampuninya bagi siapa yang tidak bertaubat darinya, adapun dosa-dosa selainnya, maka ia termasuk ke dalam kehendak Allah, jika Dia berkehendak maka Dia mengampuni pelakunya yang kembali kepadaNya dengannya, jika Dia berkehendak maka Dia mengazabnya.

Hal ini mengharuskan seorang hamba agar sangat takut kepada syirik di mana perkaranya di sisi Allah adalah demikian, karena ia perkara terburuk, kezhaliman paling zhalim, penghinaan terhadap Rabb alam semesta, memberikan hak murniNya kepada selainNya dan menyandingkan selainNya denganNya.

Karena syirik menentang tujuan dari perintah dan penciptaan, menafikannya dari segala aspek, ia merupakan puncak penentangan kepada Rabb alam semesta, kesombongan untuk menaatiNya, tunduk kepadaNya dan mematuhi perintah-perintahNya di mana tidak ada kebaikan bagi alam kecuali dengan itu, kapan alam kosong darinya maka ia akan hancur dan Kiamat pun tiba, sebagaimana sabda Nabi shallallohu 'alaihi wasallam, “Kiamat tidak tiba sehingga di bumi tidak diucapkan Allah, allah.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Karena syirik berarti menyerupakan makhluk dengan Khalik Ta’ala dan merebut kekhususan ilahiyahNya berupa kepemilikan manfaat dan mudharat, pemberian dan pencegahan yang mengharuskan digantungkannya doa, rasa takut, harapan, tawakal dan seluruh bentuk ibadah seluruhnya kepada Allah semata.

Syirik adalah penyerupaan makhluk dengan Khalik dan ini adalah penyerupaan terburuk, karena makhluk yang lemah lagi fakir diserupakan dengan yang Mahakuasa lagi Mahakaya. Di antara kekhususan ilahiyah adalah kesempurnaan mutlak dari seluruh aspek, tidak ada kekurangan apa pun, hal ini mengharuskan pemberian seluruh ibadah hanya kepadaNya semata, pengagungan, penghormatan, rasa takut, doa, harapan, kembali, tawakal, taubat, meminta pertolongan, puncak cinta diiringi dengan puncak kerendahan. Semua itu mengharuskan diberikan secara akal dan syara’ serta fitrah hanya kepada Allah semata. Secara akal dan syara’ serta fitrah tidak patut diberikan kepada selain Allah.

Barangsiapa melakukan sesuatu dari hal itu untuk selain Allah maka dia telah menyamakan selain itu dengan dzat yang tidak memiliki sekutu, tandingan dan saingan, dan ini adalah penyerupaan paling buruk dan paling batil. Karena perkara-perkara ini dan lainnya, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak mengampuninya, padahal Dia telah menetapkan rahmat atas dirinya.

Para Nabi Takut Kepadanya

Di antaranya adalah al-Khalil Ibrahim yang berdoa, “Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35). Siapa yang merasa aman dari ujian dan cobaan sesudah Ibrahim? Bila ada maka dia adalah orang yang benar-benar sombong, bagaimana tidak, sementara dia tidak ada satu dari sepersepuluhnya Ibrahim? Bila para nabi yang dalam hal ini diwakili oleh al-Khalil demikian takut kepada penyembahan kepada berhala, maka selain nabi semestinya jauh lebih takut dan lebih mewaspadai.

Syirik Menjerumuskan ke Dalam Neraka

Dan ini adalah pangkal dari seluruh sebab manusia terjerumus ke dalam neraka, kerugian ini bertambah, kerugian di atas kerugian, saat Anda tahu bahwa musyrik yang masuk neraka akan kekal abadi di sana untuk selama-lamanya. Sebuah puncak kerugian yang tidak bisa ditebus dengan apa pun, kalau pun peluang menebus ada.

Dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mati sementara dia mengangkat sekutu bagi Allah niscaya dia masuk neraka.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Syirik Adalah Dosa Nomor Wahid

Ya benar, dosa tertinggi dalam Islam adalah syirik, karena itu dalam hadits Ibnu Mas'ud di al-Bukhari yang sudah hadir sebelumnya, Rasulullah menjelaskan bahwa syirik merupakan kezhaliman paling besar dengan mengacu kepada ucapan hamba shalih Luqman.

Dalam hadits Ibnu Mas'ud di ash-Shahihain bahwa dia bertanya kepada Rasulullah, “Rasulullah, dosa apa yang paling besar?” Nabi menjawab, “Kamu mengangkat sekutu bagi Allah padahal Dia sudah menciptakanmu.”

Syirik Pembatal Seluruh Amal Kebaikan

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,artinya, “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya hapuslah amal perbuatanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65).

Ayat ini menjelaskan bahwa syirik membatalkan amal perbuatan dan bahwa ketetapan ini adalah ketetapan Allah yang berlaku untuk seluruh nabi termasuk umat-umat mereka, termasuk Nabi Muhammad dan umatnya. Perhatikan konteks ayat yang ditujukan kepada Nabi shallallohu 'alaihi wasallam, ‘Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu.’ dan kepada para nabi lainnya, ‘Dan kepada nabi-nabi sebelummu.’ Padahal mereka adalah para nabi, lalu bagaimana dengan yang bukan nabi? 

Sumber : www.alsofwah.or.id

HIKMAH DIHARAMKANNYA TASYABBUH

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa yang meniru satu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”(HR. Abu Dawud dishahihkan oleh Ibnu Hibban) Tasyabuh secara bahasa adalah meniru, maka jika anda meniru orang lain di dalam ucapannya, perbuatannya atau dalam semua urusannya, saat itu anda telah melakukan tasyabbuh dengannya (meniru).

Adapun makna secara syar’i atau secara istilah adalah meniru orang-orang yang hendaknya diselisihi dalam segala hal yang menjadi ciri khasnya secara mutlak (baik dengan sengaja meniru mereka atau tidak), dan dalam hal-hal yang tidak menjadi ciri khasnya dengan disertai niat/kesengajaan (untuk meniru).

Maka jika kita (kaum Muslimin) meniru ummat selain kita dari kalangan orang-orang yang Allah menginginkan kita untuk berbeda dengan mereka, dalam hal-hal yang menjadi ciri khas mereka dan dalam perkara-perkara yang khusus bagi mereka dan tidak dilakukan oleh selain mereka, maka ini adalah tasyabbuh, sama saja apakah kita sengaja untuk tasyabbuh dengan mereka ataupun tidak. Dan adapun dalam perkara yang tidak menjadi kekhususan mereka maka hukumnya kembali kepada niat si pelaku, apakah dia sengaja (berniat) melakukan tasyabbuh atau tidak.

Sebagai prolog, hendaknya kita memahami dan mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Hakiim (Mahabijaksana), ’Aliim (Mahamengetahui) dan Khabiir (Mahamengetahui dengan detail). Dia mengetahui perkara-perkara yang tersembunyi, dan Dia Mahamengetahui rahasia, yang mengetahui seluk beluk perkara secara rinci. Tidak ada seseuatu pun di langit dan di bumi ini yang tersembunyi dari ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang dan akan terjadi, serta apa-apa yang belum terjadi, seandainya terjadi Dia Mahatahu bagaimana terjadinya hal itu.

Maka Allah Tabaraka wa Ta’ala Mahabijaksana dalam menetapkan taqdir-Nya, dan Mahabijaksana pula dalam syari’at dan perintah-perintah-Nya. Maka seharusnya setiap muslim menerima hukum-hukum Allah ’Azza wa Jalla yang bersifat Kauniyah, seperti jika ia terkena musibah, maka ia wajib ridha dan pasrah. Dan dia juga seharusnya menerima hukum-hukum Allah yang bersifat Syar’iyyah (hukum syar’i), Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا[(65) سورة النساء].

”Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”(QS. An-Nisaa’: 65)

Dia juga berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [(51) سورة النــور]

”Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan "Kami mendengar dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS. An-Nuur’: 51)

Maka sikap inilah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim, sama saja apakah dia mengetahui hikmah di balik syari’at (perintah dan larangan) ini atau tidak.

Setelah itu aku katakan:Di sana ada banyak hikmah yang jelas dan terang dari pengharaman Tasyabbuh dengan orang kafir dan orang-orang yang Allah haramkan kita dari meniru-niru perilaku mereka. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah:

Pertama:

Menutup pintu/jalan yang mengarah kepada kecintaan kepada orang-orang kafir tersebut, dan hal-hal yang menyertainya berupa menganggap baik ajaran mereka. Dan hal itu, tidak diragukan lagi bertentangan dengan iman, yang mana bersikap loyal terhadap orang musyrik adalah perkara yang diharamkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ [(22) سورة المجادلة]

”Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, ….”(QS. Al-Mujaadalah: 22)

Di samping itu Tasyabbuh dengan penampilan mereka mengarahkan kepada kecondongan hati terhadap mereka. Karena sudah diketahui bersama bahwa kecocokan pada lahiriyah menyebabkan kecockan dan keserasian di hati. Maka di sana ada hubungan sebab akibat antara lahir dengan bathin, sehingga meniru mereka di dalam berpakaian misalnya, mengakibatkan semacam keserasian dan loyalitas terhadap mereka.

Jika salah seorang dari kita misalnya memakai pakaian olahraga, maka ia akan mendapati dirinya merasa bersemangat, lincah dan gesit. Jika memakai pakaian ulama, maka ia akan mendapati dalam dirinya perasaan berwibawa. Jika memakai pakaian tentara dan prajurit, maka dia mendapati dalam dirinya perasaan kuat, tegas dan sikap-sikap seorang prajurit, tidak lembek dan juga tidak bersikap dengan sikap-sikap lain yang tidak sesuai dengan para tentara. Maka tidak diragukan lagi bahwa pakaian memiliki pengaruh, dan bahwasanya apa yang seseorang dapatkan pada lahiriyahnya, niscaya akan berpengaruh pada batiniyah dan hatinya.

Jika anda masuk ke sebuah negeri yang engkau tidak mengenal penduduknya, bahasanya, penampilan mereka berbeda dengan penampilanmu, bahasa mereka berbeda dengan bahasamu. Lalu anda duduk di sebuah aula yang besar yang di dalamnya ada orang-orang yang berbeda dengan anda dalam segala hal, dan anda adalah orang yang asing di tengah-tengah mereka, lalu masuk ke dalam aula tersebut seseorang yang memakai pakaian seperti yang anda pakai, bukankah anda akan mendapati pada diri anda kecondongan (perasaan senang) yang besar kepada orang tersebut? tidak ragu lagi pasti anda akan merasakan hal itu.

Demikian juga seandainya anda melihat di antara orang-orang yang hadir tersebut orang yang memakai jam tangan seperti jam tangan anda, peci seperti peci anda, seragam seperti seragam anda, mobil seperti mobil anda dan berpenampilan seperti anda, bukankah anda merasakan kecondongan terhadap orang tersebut, sekalipun anda berusaha untuk menguasai dirimu agar tidak menyukainya dan condong kepadanya? Tidak ragu lagi, pasti anda merasakan yang demikian.

Maka saya katakan bahwa penampilan luar berpengaruh pada keadaan bathin (jiwa), oleh sebab itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah menyebutkan bahwa manusia terkadang memiliki teman-teman di negerinya, namun terkadang ketika bertemu mereka ia tidak mengucapkan salam kepadanya dan kurang akrab terhadap mereka. Maka jika ia merantau ke negeri yang asing, dan lalu ia di sana bertemu dengan salah seorang yang berasal dari negerinya, pasti pertemuan itu akan menumbuhkan kecintaan, kerinduan, saling menyapa dan perbincangan di antara keduanya. Bukankah hal ini adalah sesuatu kenyataan? Tentu jawabannya adalah ”Ya”.

Kedua:

Supaya seorang muslim berbeda dengan kepribadian islami, dan hendaknya ia menjaga ciri khas kepribadian islaminya yang berbeda dengan orang-orang kafir. Dengan demikian tercapailah penjagaan terhadap ciri khas ummat Islam, kekhususan-kekhususan mereka dan kesempurnaan mereka. Sehingga ummat ini menjadi umat panutan/teladan bukan menjadi pengekor ummat lain. Dan ini yang pantas bagi ummat ini, karena ummat ini adalah kepala dan tidak pantas menjadi ekor dalam hal apapun. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا [(143) سورة البقرة]

”Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (ummat Islam), ummat yang wasath agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia ….”(QS. Al- Baqarah: 143)

Makna wasath adalah umat yang adil dan pilihan. Maka tidak pantas bagi ummat ini untuk lebur dengan kepribadian selain mereka, berpakaian dengan pakaian mereka dan berhias dengan akhlak dan adat mereka serta ibadah-ibadah mereka, dan akhirnya menjadi ummat yang larut bersama ummat lain, tidak memiliki kepribadian, ciri khas, dan keistimewaan-keistimewaan yang membedakan mereka dari ummat selainnya.

Ketiga:

Agar kita benar-benar yakin bahwa amalan-amalan (kegiatan) yang hanya dilakukan oleh orang-orang kafir tersebut, bisa jadi adalah amalan yang batil, ataupun kurang baik dan seorang muslim perlu mengambil kekurangan itu supaya dia tidak menjadi orang yang kurang, dan tidak perlu juga ia mengambil kerusakan yang ada pada mereka sehingga ia ikut rusak sebagaimana mereka.

Kempat:

Penyelisihan mereka adalah bentuk realisasi dari makna Bara’ (berlepas diri) dari orang kafir, dan juga tidak asing lagi bagi kita bahwa dampak penyelisihan kita terhadap mereka menumbuhkan perasaan hina dan rendah di hati-hati mereka, berbeda halnya jika kita sesuai dan mencocoki mereka, maka jiwa mereka akan merasa besar, dan mereka merasa tinggi di hadapan kita (karena mereka meyakini bahwa tidaklah kita mengikuti mereka kecuali karena kita meyakini mereka lebih baik). Dan anda tidak menemukan yang lebih benar untuk menunjukkan hal itu daripada firman Allah:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا [(6) سورة الجن].

”Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”.(QS. Al- Jin: 6)

Kelima:

Dengan meninggalkan Tasyabbuh tercapailah salah satu tujuan syari’at dalam masalah ini, yaitu adanya perbedaan di antara manusia, maka bisa diketahui kalau ini adalah orang muslim, dan ini orang kafir dari tingkah lakunya, pakaiannya, dan penampilannya. Adapun jika seluruh manusia ini sama, tidak dibedakan antara orang muslim dan kafir, yang mana anda tidak menemukan perbedaan antara seorang yang beragama budha, yahudi, kristen dan agama yang lainnya, maka hal ini tidak bagus bertentangan dengan tujuan syari’at.

Tentunya masih banyak lagi hikmah di balik larangan Tasyabbuh dengan orang kafir yang belum disebutkan di sini. Namun yang terpenting bagi kita adalah menjalankan semua perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya, baik kita mengetahui hikmahnya maupun tidak. Wallahu Ta’ala A’lam Bi ash-Shwaab. 

Sumber : www.alsofwah.or.id

Rabu, 15 Februari 2012

TAFSIR SURAT AT TIIN

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

TAFSIR SURAT AT TIIN

وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ {1} وَطُورِ سِينِينَ {2} وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ {3} لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ {4} ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ {5} إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ {6} فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ {7} أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ {8}‏

(1) Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.
(2) Dan demi Bukit Sinai.
(3) Dan demi kota (Mekkah) ini yang aman.
(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
(5) Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
(6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
(7) Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
(8) Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? Surat yang mulia ini adalah makkiyah[1].

Pada ayat pertama surat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan At Tin dan Az Zaitun[2]. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan At Tin dan Az Zaitun[3], namun tidak ada satupun pendapat mereka yang berdasar pada dalil yang shahih,[4] kecuali pendapat yang mengatakan bahwa At Tin adalah buah At Tin yang (sudah dikenal dan) biasa dimakan, dan Az Zaitun adalah (juga) buah Az Zaitun yang biasa diperas darinya minyak Zaitun.[5] Hal ini sesuai dengan sebuah riwayat yang telah dikeluarkan oleh Al Hakim dengan sanadnya, dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ

Beliau berkata:

الفَاكِهَةُ الَّتِيْ يَأْكُلُهَا النَّاسُ

“Buah yang (biasa) dimakan orang-orang”.[6]

Demikian pula Al Bukhari di dalam shahihnya,[7] membawakan perkataan Mujahid yang serupa dengan perkataan Ibnu Abbas ini.

Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan Thuur Siiniin, yaitu sebuah bukit yang padanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada Musa ‘alaihissalam .[8]

Dan berikutya Allah bersumpah dengan Al Balad Al Amin, yaitu Makkah.[9]

Lalu, mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut? Para ulama tafsir menerangkan sebab-sebabnya yang diantaranya; karena kedua tumbuhan tersebut (At Tin dan Az Zaitun) banyak mengandung manfaat, baik pada pohonnya maupun buahnya, dan karena keduanya sangat tumbuh subur dan baik di Syam, yang merupakan tempat diutusnya Nabi Isa ‘alaihissalam menjadi seorang rasul. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan sebuah bukit, karena di tempat itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada Nabi Musa dan mengutusnya menjadi seorang rasul. Adapun mengapa Allah bersumpah dengan Al Balad Al Amin? Itu karena Mekkah adalah sebuah negeri yang aman bagi orang memasukinya, juga karena di tempat itulah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi seorang rasul. dari sini, jelaslah mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut? Itu karena ketiga tempat tersebut adalah tempat-tempat yang disucikan yang Ia pilih, dan telah diutus padanya rasul-rasulNya yang paling mulia.[10]

Ayat berikutnya adalah jawaban dari sumpahNya terhadap hal-hal tadi,[11] bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia dalam bentuk dan sifat yang sebaik-baiknya, dengan seluruh anggota tubuh yang seimbang, sempurna, dan tidak kekurangan suatu apapun. Dan semuanya itu menunjukkan atas kekuasaan Allah yang mutlak atas penciptaan dan pengembalian manusia pada hari kebangkitan.[12]

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”

Pada ayat pertama dari kedua ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan tentang keadaan kebanyakan manusia yang kufur terhadap nikmat yang telah Ia berikan kepadanya berupa bentuk fisik yang sempurna dan baik. Maka sudah sewajibnya seorang manusia bersyukur atas nikmat ini, namun justru kebanyakan manusia lalai dan lupa terhadap penciptanya yang telah memberikan kenikmatan-kenikmatan yang tak terbilang, mereka sibuk dengan bermain-main dan hal-hal yang melalaikan mereka. Mereka ridha dengan perkara-perkara rendah dan akhlak-akhlak buruk yang merusak diri mereka sendiri. Akhirnya Allahpun mengembalikan mereka ke dalam neraka yang paling bawah, tempatnya ahli maksiat yang membangkang dan menentang perintah-perintah Allah.[13] Kecuali orang-orang yang beriman, yang telah diberikan oleh Rabb mereka keutamaan berupa keimanan, amal yang shalih, dan akhlak yang tinggi dan mulia. Maka bagi mereka derajat yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan pahala dariNya yang tiada henti-hentinya terus mengalir kepada mereka dan tanpa terputus. Bahkan mereka terus mendapatkan kelezatan-kelezatan yang terus-menerus, kebahagiaan yang tiada habis-habisnya, dan kenikmatan-kenikmatan tak terhingga yang abadi dan kekal selama-lamanya.[14]

Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ

“Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?”

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya dan menegaskan kembali kepada manusia yang telah diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, sempurna dan utuh tanpa kekurangan suatu apapun, namun di antara manusia masih ada yang kufur terhadap nikmat-nikmat Rabbnya dan ingkar terhadap hari pembalasan,”Apa yang membuatmu dan menyebabkanmu wahai anak Adam mendustakan dan mengingkari hari pembalasan terhadap seluruh amal perbuatan, padahal kamu telah mengetahui kekuasaan Rabbmu yang mampu menciptakanmu dengan baik dan sempurna? Bukankah Ia yang telah menciptakanmu jauh lebih mampu untuk menghidupkanmu kembali dan membalas amal-amalmu? Apa yang membuatmu mendustakan semua ini sedangkan kamu mengetahui kebenarannya?[15]

Dan di akhir surat At Tiin ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?”

Allah Subhanahu wa Ta’ala kembali bertanya dalam ayat ini yang maknanya, “Apakah adil dan sesuai dengan hikmahNya jika Ia menciptakan makhlukNya untuk kemudian dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja tanpa diperintah dan dilarang, dan tanpa diberikan balasan baik ataupun buruk? Ataukah sesuai keadilan dan hikmahNya itu, jika Ia Yang Maha Pencipta dengan tahapan demi tahapan penciptaan, kemudian Ia memberikan seluruh nikmat-nikmatNya yang tiada terbilang, lalu membimbing mereka dengan bimbingan yang baik dan bijaksana, dan akhirnya Ia mengembalikan mereka kepada tujuan dan inti kehidupan mereka, yaitu akhirat yang kepadanyalah orang-orang beriman menuju?”[16]

Ada sebuah hadits yang erat kaitannya dengan ayat terakhir ini. Yang mungkin hadits ini dijadikan hujjah oleh sebagian mereka yang beranggapan akan sunnahnya hukum membaca lafazh (بَلَى، وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ), atau lafazh (سُبْحَانَكَ فَبَلَى) tatkala seseorang membaca surat At Tiin ini sampai pada penghujung ayatnya.

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, Ahmad, dan lain-lainnya[17]dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , beliau berkata:

مَنْ قَرَأَ : وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِ ، فَقَرَأَ : أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ ، فَلْيَقُلْ : بَلَى ، وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ .

“Barangsiapa yang membaca ‘Wat tiini waz Zaituun’ sampai ia membaca ‘Alaisallaahu bi Ahkamil Haakimiin’ ; maka hendaknya ia mengucapkan: ‘Balaa Wa Ana ‘Alaa Dzaalika minasy Syaahidiin’ (Ya, dan aku atas hal itu termasuk orang-orang yang bersaksi).”[18]

Namun hadits ini dha’if, sebagaimana yang telah dihukumi oleh Asy Syaikh Al Albani[19], disebabkan pada sanadnya terdapat perawi (dan ia bukan seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -pen) yang mubham.[20]

Adapun ayat yang disunnahkan padanya untuk dibacakan lafazh-lafazh tadi atau yang semakna dengannya, adalah ayat terakhir pada surat Al Qiyamah, yaitu:

أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَن يُحْيِيَ الْمَوْتَى .

“Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?”[Al Qiyamah: 40].

Hal ini berdasarkan hadits lain yang dikeluarkan oleh Abu Dawud[21] dengan sanadnya dari Musa bin Abi A’isyah, ia berkata:

كَانَ رَجُلٌ يُصَلِّي فَوْقَ بَيْتِهِ ، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ : أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى ، قَالَ: سُبْحَانَكَ فَبَلَى، فَسَأَلُوْهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ : سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Ada seseorang yang melakukan shalat di atas rumahnya, dan apabila ia membaca (Alaisa Dzaalika bi Qaadirin ‘Alaa Ay Yuhyiyal Mawtaa), ia berkata (setelahnya): Subhaanaka Fa Balaa (Ya dan Maha Suci Engkau). (Lalu) mereka menanyakan tentang hal ini kepada orang tersebut, (dan) iapun berkata: Aku telah mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Berkenaan dengan hadits ini, Al Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Abu Dawud telah menyendiri dalam periwayatan hadits ini, dan (pada sanadnya) ada perawi shahabi[22] yang tidak disebutkan namanya, namun ini tidak bermasalah.”[23]

Asy Syaikh Al Albani berkata pula: “(Hadits ini) dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih, dari seseorang, yang ia adalah shahabi,[24] dan jahaalahnya[25] tidak bermasalah, sebagaimana yang sudah diketahui (akan hal ini) oleh ulama. Oleh karena itu, aku keluarkan hadits ini di dalam Shahih Sunan Abi Dawud (no. 827).”[26]

Demikian tafsir singkat surat At Tiin ini, mudah-mudahan menjadi penambah ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan yang membacanya.

Wallahu a’lam bish shawaab.



Penulis: Ustadz Abu Abdillah Arief Budiman bin Usman Rozali
Sumber : www.UstadzArif.com

Sabtu, 11 Februari 2012

Hukum Merapatkan / Meluruskan Shaf (Barisan) Dalam Shalat

Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.

Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du


سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat”.Wajibnya Merapatkan dan Meluruskan Shaf

Alhamdulillah,setelah Fakta Islam yang telah kita bahas beberapa minggu lalu,atas izin Allah Subhanahu wa Ta'ala,penulis akan kembali berbagi ilmu yang kami dapat pula dari sumber-sumber terpercaya dalam menempuh manhaj salaf manhaj yang mulia ini.

Adalah Hukum Merapatkan / Meluruskan Shaf (Barisan) Dalam Shalat tema pada sesi kali ini,dan artikel ini saya ambil dari al-atsariyyah.com salah satu situs yang dapat dijadikan referensi bagi orang-orang yang ingin menuntut ilmu khususnya dalam rangka memahami,mengenal serta beri'tiqad menjalankan Islam yang murni dan kaffah.

Dalam sesi inipun akan dibagi menjadi beberapa tahap diantaranya adalah:

1.Anjuran Menyambung Shaf dan Ancaman Memutuskannya
2.Perintah Meluruskan dan Merapatkan Shaf
3.Tata Cara meluruskan dan Merapatkan Shaf
4.Hukum Meluruskan dan Merapatkan Shaf
5.Penjelasan Ringkas

Tapi sebelum itu,kita akan meneliti lebih jauh dari salah satu hadits sahih tentang perintah kewajiban dalam meluruskan shof ini,duantaranya Takhrij Hadits dan Kosa Kata Hadits-nya.
A.Bunyi Hadits:

Dari Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala anhu- dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- beliau bersabda:


سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat”. (HR. Muslim no. 433)

B.Takhrij Hadits:

Hadits dengan lafadz ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya (433) dari shahabat Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, dan dalam riwayat Al-Bukhary (723), dengan lafazh:

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ
”Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk menegakkan sholat.”


Semakna dengannya, hadits Abu Hurairah -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- dalam riwayat Al-Bukhary (722) dan Muslim (435), dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:

وَأَقِيْمُوْا الصَّفِّ فِي الصَّلاَةِ, فَإِنَّ إِقَامَةِ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلاَةِ
“Dan tegakkanlah shaf di dalam shalat, karena sesungguhnya menegakkan shaf termasuk diantara baiknya sholat”.

C.Kosa Kata Hadits:


1.Sabda beliau [luruskanlah shaf-shaf kalian] yakni, lurus dan seimbanglah dalam bershaf sehingga kalian seakan-akan merupakan garis yang lurus, jangan salah seorang di antara kalian agak ke depan atau agak ke belakang dari yang lainnya, serta merapat dan tutuplah celah-celah kosong yang berada di tengah shaf.

2.Sabda beliau [termasuk kesempurnaan sholat], yakni penyempurna sholat. Sesuatu dikatakan sempurna jika telah sempurna seluruh bagian-bagiannya, sehingga satu bulan dikatakan sempurna jika harinya sudah genap 30.

3.Sabda beliau [sesungguhnya menegakkan shaf], yakni meluruskan dan menyeimbangkannya ketika hendak mendirikan shalat berjama’ah.

4.Sabda beliau [termasuk diantara baiknya sholat]. Ibnu Baththol menjelaskan bahwa “baiknya sesuatu” adalah kadar tambahan setelah sempurnanya sesuatu tersebut.
[Lihat: Fathul Bary (2/209), ‘Aunul Ma’bud (2/259), dan Faidhul Qodir (2/537) dan (4/115-116)]

Anjuran Menyambung Shaf dan Ancaman Memutuskannya

Banyak nash dari hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menganjurkan kita agar kita meluruskan dan merapatkan shaf, bahkan beliau juga telah mengancam orang yang memutuskannya dengan ancaman yang keras.

1. Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

أَقِيْمُوُا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّمَا تَصُفُّوْنَ بِصُفُوْفِ الْمَلاَئِكَةِ, وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسَدُّوْا الْخَلَلَ وَلِيْنُوْا بِأَيْدِيْ إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوْا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ. وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”.(2)


Imam Abu Dawud As-Sijistany -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Makna sabdanya:[ “Lembutilah tangan-tangan (lengan) saudara kalian”] (adalah) apabila ada seorang yang datang menuju shaf, lalu ia berusaha masuk, maka seyogyanya setiap orang melembutkan (melunakkan) bahunya untuknya sehingga ia bisa masuk shaf”. (3)
Jika menutup celah yang renggang saja merupakan perkara yang sangat dianjurkan, apalagi jika itu merupakan kekosongan dan kerenggangan yang sangat lapang di antara satu jama’ah dengan jama’ah lainnya -sebagaimana yang terlihat di banyak masjid di tanah air-, maka ini tentu lebih dianjurkan bahkan diperintahkan.

2. ‘A`isyah -radhiallahu Ta’ala ‘anha- berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَبَنَى لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Barang siapa yang menutupi suatu celah (dalam shaf), niscaya Allah akan mengangkat derajatnya karenanya dan akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga”. (4)


Janji yang demikian besarnya, tentunya tidak diberikan kecuali kepada orang yang memiliki semangat yang tinggi dalam mengamalkan sunnah Rasulullah-Shallallahu ‘alaihi wasallam- di saat manusia banyak yang meninggalkannya dan melalaikannya, bahkan terkadang diingkari. Demikian pula orang yang menolong saudaranya dalam melaksanakan sunnah ini dengan melunakkan bahunya agar saudaranya bisa masuk ke dalam shaf dan tidak terhalang, wajar jika ia disebut sebagai “orang yang terbaik akhlaknya”.

3. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبِ فِي الصَّلاَةِ, وَمَا مِنْ خَطْوَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خَطْوَةٍ مَشَاهَا رَجُلٌ إِلَي فُرْجَةٍ فِي الصَّفِّ فَسَدَّهَا

“Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling lembut bahunya dalam sholat. Tak ada suatu langkahpun yang lebih besar pahalanya dibandingkan langkah yang dilangkahkan menuju celah dalam shaf, lalu ia menutupinya”. (5)


Perintah Meluruskan dan Merapatkan Shaf

Para pembaca yang budiman telah membaca hadits-hadits yang menganjurkan kita untuk meluruskan dan merapatkan shaf dan juga ancaman bagi orang yang memutuskan shaf dengan cara membuat celah antara bahunya dengan bahu saudaranya, maka wajarlah jika Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan hal tersebut demi menekankan pentingnya meluruskan dan merapatkan shaf serta bahaya memutuskannya.

1. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- berkata: Rasulullah-shollallahu alaihi wasallam- bersabda:

اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ

“Luruslah kalian dan jangan kalian berselisih. Lantaran itu, hati-hati kalian akan berselisih”. (6)


Perhatikan bagaimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengancam orang yang berselisih dalam mengatur shaf, satunya maju sedikit dan satunya lagi agak ke belakang. Inilah yang dimaksud berselisih dalam hadits ini.

2. Dalam hadits lain beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ

“Kalian akan benar-benar meluruskan shaf, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalian berselisih”. (7)


Seseorang tidak akan mampu meluruskan shafnya jika ia tidak merapatkan barisannya. Karenanya Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan hal itu dalam sebuah hadits dari:

3. Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- bercerita, “Sholat telah didirikan (telah dikumandangkan iqomah), lalu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menghadapkan wajahnya kepada kami seraya bersabda:

أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَتَرَاصُّوْا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ

”Tegakkanlah shaf-shaf kalian dan rapatkan karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari balik punggungku”. (8)

Meluruskan shaf dan merapatkannya sangat diperhatikan oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau, sehingga tak heran jika beliau mengingatkan dan memerintahkannya dalam hadits-haditsnya.

Bahkan meluruskan shaf merupakan salah satu jalan menyempurnakan dan menegakkan sholat, sedangkan menyempurnakan dan menegakkan sholat merupakan kewajiban. Seorang tak boleh mengurangi kesempurnaanya dengan merenggangkan shaf.
Tata Cara meluruskan dan Merapatkan Shaf

Jika seseorang mau menilik dan meneliti hadits-hadits Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka ia akan menemukan di dalamnya permata berharga bagi para pencinta sunnah, mata air yang menyejukkan hati dan penawar bagi hati yang sakit. Tak ada suatu kemaslahatan apapun, kecuali beliau telah jelaskan, dan sebaliknya tak ada satu mudhorotpun yang akan membahayakan diri seseorang, kecuali beliau telah ingatkan.
Di antara kemaslahatan tersebut adalah tata cara meluruskan shaf.

Kemudian tak mungkin beliau memerintahkan dan mewajibkan sesuatu, kecuali beliau pasti telah menjelaskan tata cara dan kaifiyahnya kepada para sahabatnya.
Tata cara meluruskan dan merapatkan shaf ini telah dipraktekkan oleh para sahabat setelah mereka dibimbing langsung oleh Nabi mereka -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka sekarang mari kita biarkan salah seorang sahabat yang mulia yang bernama Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- yang menerangkan tata cara dan kaifiyah meluruskan dan merapatkan shaf di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

Anas bin Malik berkata:

لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يَلْزِقُ مَنْكَبَهُ بِمَنْكَبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بَقَدَمِهِ .وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بِغَلِ شُمُوْسٍ

“Dulu, salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu teman di sampingnya serta kakinya dengan kaki temannya. Andaikan engkau lakukan hal itu pada hari ini, niscaya engkau akan melihat mereka seperti bagal (9) yang liar”.(10)


Apa yang dikatakan oleh Anas -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- adalah benar. Andaikan kita terapkan petunjuk Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya dalam merapatkan shaf, niscaya kita akan melihat orang di samping kita bagaikan cacing kepanasan, tidak rela jika kakinya ditempeli oleh kaki saudaranya, bahkan marah dan buruk sangka kepada hamba Allah yang taat. Alangkah buruknya orang jenis ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlahnya.

Busyair bin Yasar Al-Anshory pernah berkata,

“Tatkala Anas datang ke Madinah, maka ada yang bertanya kepadanya: “Apakah yang anda ingkari pada kami sejak hari engkau mengenal Rasulullah-shollallahu alaihi wasallam-?”. Maka beliau berkata: [“Aku tak mengingkari (kalian), kecuali karena kalian tidak menegakkan shaf”]”.(11)


Syaikh Masyhur Hasan Salman -hafizhohullah- berkata dalam mengomentari atsar di atas,

“Demikianlah kondisi kebanyakan orang di zaman kita ini. Andaikan hal itu dilakukan di hadapan mereka, maka mereka akan lari laksana keledai liar. Sunnah ini di sisi mereka berubah seakan-akan menjadi suatu bid’ah (ajaran baru) -na’udzu billah-. Semoga Allah menunjuki mereka dan membuat mereka merasakan manisnya sunnah”. (12)


Apa yang dikatakan Anas dalam Atsar di atas memperjelas bagi kita bahwa tata cara tersebut telah mereka lakukan sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bukanlah merupakan hasil ijtihad mereka, bahkan merupakan hasil pemahaman mereka terhadap sabda-sabda Nabi mereka -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang memerintahkan serta mewajibkan meluruskan dan merapatkan shaf. Praktek mereka merupakan tafsiran dan manifestasi dari perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka dalam meluruskan dan merapatkan shaf. Maka janganlah anda yang tertipu dengan orang yang menyatakan bahwa perkara ini bukanlah wajib, apalagi sampai mengingkarinya dan menyatakannya sebagai akhlaknya orang-orang yang tak berakhlak.

Al-Hafizh -rahimahullah- berkata ketika mengomentari atsar Anas di atas,

“Pernyataan ini memberikan faedah bahwa perbuatan (para sahabat) tersebut telah ada sejak zaman Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Berdasarkan hal ini, maka sempurnalah pengambilan hujjah yang menjelaskan maksud menegakkan shaf dan meluruskannya”. (13)


Maka batillah pendapat orang yang menyatakan bahwa menempelkan bahu dengan bahu, kaki dengan kaki dan lutut dengan lutut ketika merapatkan shaf merupakan perkara baru.(14)

Syaikh Nashir Al-Albany -rahimahullah- berkata dalam menyanggah mereka,

“Sungguh telah ada sebagian penulis di zaman ini yang mengingkari menempelkan (kaki) seperti ini dan menyangka bahwa itu adalah model baru (bid’ah) atas contoh yang ada dan bahwa di dalamnya terdapat sikap keterlaluan dalam menerapkan sunnah. Dia telah menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan menempelkan adalah anjuran untuk menutupi celah shaf, bukan hakekat menempel. Ini merupakan ta’thil (peniadaan) terhadap hukum-hukum ‘amaliyah yang persis menyerupai peniadaan sifat-sifat Ilahiyah. Bahkan ini lebih jelek dibandingkan itu, karena rawi menceritakan tentang perkara yang disaksikan, terlihat oleh mata kepalanya, yaitu menempelkan. Sekalipun demikian ia masih tetap berkata: [“Bukanlah yang dimaksudkan hakekat menempelkan”] Wallahul musta’an”. (15)


Benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albany bahwa menempelkan kaki, bahu dan lutut merupakan sunnah Nabi. Adapun beralasan dengan ketidakmampuan dan keengganan sebagian orang melaksanakannya, bukanlah hujjah dalam menggugurkan sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, sebab kenyataannya cara tersebut bisa dikerjakan. Adapun orang yang enggan karena merasa sempit dadanya ketika ditempeli kakinya oleh kaki saudaranya, maka tak bisa dijadikan hujjah. Jika ada sebagian orang tak mampu menempelkan kakinya karena pada kakinya ada sifat kurang sempurna, maka bertaqwalah semampunya. Artinya, berusaha lakukan semampunya dan jika dia tetap tidak bisa, maka dia telah mendapat udzur.

Sekali lagi kami katakan bahwa meluruskan dan merapatkan shaf merupakan sunnah (baca: petunjuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada para sahabat dan ummat beliau yang telah disaksikan oleh Anas bin Malik radhiallahu Ta’ala ‘anhu. Bahkan bukan hanya beliau (Anas), bahkan cara ini disaksikan oleh semua sahabat yang sholat di belakang beliau.

Coba dengarkan dengan baik penuturan seorang sahabat yang mulia yang bernama Nu’man bin Basyir -radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, beliau menuturkan realita yang terjadi di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,

“Aku melihat seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”. (16)


Syaikh Husain bin Audah Al-Awayisyah berkata,

“Dipahami dari pembahasan lalu bahwa meluruskan dan merapatkan shaf maksudnya adalah: 1-Seorang yang sholat menempelkan bahunya dengan bahu temannya, kakinya dengan kaki temannya, lututnya dengan lutut temannya dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”. 2- Menjaga kesejajaran antara bahu-bahu, leher-leher dan dada. Tak ada leher yang berada di depan leher lainnya, tak ada bahu di depan lainnya dan tak ada dada di depan dada lainnya. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sungguh telah bersabda, “Janganlah dada kalian berselisih, lantaran itu, hati kalian akan berselisih”. (17)” (18).


Demi tersebarnya sunnah ini, maka kami anjurkan kepada para imam masjid agar meluruskan dan merapatkan shaf, serta berjalan memeriksa shaf yang masih renggang dan belum rapat, sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh manusia yang terbaik, Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

Dari sahabat Nu’man bin Basyir -radhiyallahu anhu-berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوْفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ. ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرَهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ: عِبَادَ اللهِ ! لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

“Dulu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meluruskan shaf kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen), sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari, lalu beliau berdiri sampai beliau hampir bertakbir, maka tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shaf. Maka beliau bersabda, [“Wahai para hamba Allah, kalian akan benar-benar akan meluruskan shaf kalian atau Allah akan membuat wajah-wajah kalian berselisih”]”. (19)

Hukum Meluruskan dan Merapatkan Shaf

Berdasarkan hadits-hadits yang telah berlalu, para ulama kita menjelaskan bahwa meluruskan shaf dan merapatkannya merupakan perkara yang wajib atas setiap jama’ah sholat. Wajibnya hal ini dipahami dengan adanya perintah dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan juga ancaman beliau terhadap orang yang melalaikannya.
Karena, jika memang meluruskan dan merapatkan shaf bukan perkara wajib tapi mustahab (sunnah/dianjurkan), maka tentunya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak akan memberikan perintah dan ancaman berkaitan dengan hal tersebut. Sebab sesuatu yang hukumnya mustahab (mandub/sunnah) boleh dikerjakan -dan itulah yang lebih baik- dan juga boleh ditinggalkan tanpa ada celaan.

Jadi, apabila ada suatu perintah lalu diiringi dengan ancaman bagi orang yang meninggalkan perintah tersebut, maka ini menunjukkan bahwa hal itu hukumnya wajib. Dari sisi yang lain, seluruh perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hukum asalnya adalah wajib, kecuali jika ada dalil lain menunjukkan bolehnya sekali-sekali tidak meluruskan shaf dan merapatkannya, maka hukumnya berubah menjadi mandub (sunnah/tidak wajib).
Namun disana tidak ada dalil yang mengubah hukum asal ini, artinya tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- atau para sahabat pernah sekali tidak meluruskan dan merapatkan shaf. Maka diketahuilah dari semua hal ini bahwa meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya adalah wajib.

Al-Imam Al-Ba’ly -rahimahullah- berkata, “Lahiriah (zhohir) pendapat Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah bahwa meluruskan shaf adalah wajib, karena Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melihat seorang lelaki yang membusungkan dadanya (dalam shaf), maka beliau bersabda, [“Kalian benar-benar akan meluruskan shaf kalian ataukah Allah akan membuat hati-hati kalian berselisih”], beliau -‘alaihish sholatu was salam- juga bersabda, [“Luruskanlah shaf-shaf kalian karena meluruskannya adalah termasuk kesempurnaan sholat”] Muttafaqun ‘alaihi. Al-Bukhary membuatkan judul bagi hadits ini, (Bab: Dosa Orang yang Tidak Meluruskan Shaf)”. (20)

Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy -rahimahullah- berkata, “Diwajibkan atas kaum mukminin untuk meluruskan shaf –orang yang pertama lalu yang berikutnya-dan merapatkan shaf, serta menyejajarkan bahu dengan bahu serta kaki dengan kaki”. (21)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan hukum meluruskan shaf, “Berdasarkan hal ini, maka ia adalah wajib dan berbuat kekurangan di dalamnya adalah haram”. (22)

Ibnul Mulaqqin -rahimahullah- berkata, “Konsekwensi segi yang pertama adalah wajibnya meluruskan shaf dengan adanya ancaman karena meninggalkannya”. (23)
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata ketika mengomentari hadits yang memerintahkan untuk meluruskan shaf, “Di dalam hadits tersebut terdapat keterangan wajibnya meluruskan shaf”. (24)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin -rahimahullah- berkata seusai membawakan hadits yang berisi ancaman bagi orang yang tidak meluruskan shaf, “Tanpa ragu lagi, ini merupakan ancaman bagi orang yang tidak meluruskan shaf, karena itulah sebagian ulama berpendapat wajibnya meluruskan shaf. Mereka berdalil untuk hal itu dengan adanya perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap hal itu serta ancaman beliau karena penyelisihannya. Sesuatu yang telah datang perintah tentangnya dan juga ancaman karena menyelisihinya, ini tak mungkin dikatakan sunnah saja! Oleh karena itulah, maka pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah wajibnya meluruskan shaf, dan bahwa jama’ah jika tidak meluruskan shaf, maka mereka berdosa”. (25)

Syaikh Muhammad Nashir Al-Albany -rahimahullah- berkata ketika menyebutkan beberapa faedah dari sebuah hadits yang mengancam seseorang jika tidak meluruskan shaf, “Dalam kedua hadits ini terdapat dua faedah. Pertama: Wajibnya menegakkan, meluruskan dan merapatkan shaf karena adanya perintah untuk hal itu. Sedangkan asalnya segala perintah adalah wajib kecuali jika ada qorinah (korelasi) yang memalingkannya sebagaimana yang tertera dalam ilmu ushul.

Namun qorinahnya di sini menguatkan wajibnya, yaitu sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, [“…ataukah Allah akan benar-benar membuat hati-hati kalian berselisih”]. Karena -tidak samar lagi bahwa- ancaman seperti ini tidak mungkin diucapkan terhadap sesuatu yang bukan wajib. Kedua: Pelurusan shaf tersebut adalah dengan cara menempelkan bahu dengan bahu dan tepi kaki dengan kaki, karena inilah yang dilakukan oleh para shahabat -radhiallahu ‘anhum- ketika mereka diperintahkan menegakkan dan merapatkan shaf. Karena itulah, Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath setelah beliau membawakan tambahan hadits yang aku datangkan pada hadits yang pertama dari ucapan Anas, [“Pernyataan ini memberikan faedah bahwa perbuatan (para sahabat) tersebut telah ada sejak zaman Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-. Berdasarkan hal ini, maka sempurnalah pengambilan hujjah yang menjelaskan maksud menegakkan shaf dan meluruskannya”.(26)].

Di antara perkara yang kita sesalkan, sunnah ini -berupa pelurusan shaf- sungguh telah diremehkan oleh kaum muslimin, bahkan mereka telah menyia-nyiakannya kecuali sedikit di antara mereka. Sesungguhnya aku tidak melihat hal ini (meluruskan dan merapatkan shof) ada pada suatu kelompok di antara mereka kecuali pada ahlul hadits karena aku pernah melihat mereka di Makkah pada tahun 1368 H, mereka amat semangat berpegang dengannya sebagaimana halnya sunnah-sunnah Nabi Al-Musthofa -alaihish sholatu was salam- lainnya. Berbeda dengan yang lainnya dari kalangan pengikut madzhab-madzhab yang empat -aku tidak kecualikan Hanabilah-. Sunnah ini telah berubah menjadi sesuatu yang terlupakan di sisi mereka.

Bahkan mereka saling mengikuti dalam meninggalkannya dan berpaling darinya. Demikianlah, karena mayoritas madzhab mereka telah menetapkan bahwa yang sunnah ketika berdiri sholat adalah merenggangkan di antara dua kaki sejarak 4 jari, jika melebihi, maka hukumnya makruh sebagaimana datang perinciannya dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (1/207).
Ketentuan seperti itu tak ada asalnya dalam sunnah, itu hanyalah merupakan pendapat semata. Andaikan hal itu benar, maka harus dikhususkan bagi imam dan munfarid (orang yang sholat sendirian) agar sunnah-sunnah ini tidak dipertentangkan sesuai konsekwensi kaidah-kaidah ushul.
Intinya, aku mengajak kaum muslimin -terkhusus lagi para imam masjid- yang memiliki semangat untuk mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-dan mau memperoleh fadhilah menghidupkan sunnahnya -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk mengamalkan sunnah ini (yaitu meluruskan shaf,pen), bersemangat melakukannya dan mengajak manusia kepadanya sehingga mereka semua berpadu di atasnya. Dengan itulah, mereka akan selamat dari ancaman, [“…ataukah Allah akan benar-benar membuat hati-hati kalian berselisih”].

Pada cetakan ini aku tambahkan seraya berkata, ”Telah sampai kepadaku berita tentang seorang da’i bahwa ia meremehkan perkara sunnah amaliyyah ini yang telah dijalani oleh para shahabat dan ditaqrir oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Orang itu mengisyaratkan bahwa itu bukan dari hasil pengajaran Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka. Namun orang ini tak sadar -wallahu A’lam- kalau itu merupakan pemahaman dari para shahabat, ini yang pertama.
Yang kedua, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah mentaqrir mereka atas hal tersebut. Demikian itu sudah cukup bagi Ahlus Sunnah dalam menetapkan disyari’atkannya hal tersebut. Karena orang yang menyaksikan (langsung kejadian) bisa melihat sesuatu yang tak dilihat oleh orang yang absen. Mereka adalah suatu kaum yang tak akan celaka orang yang mengikuti jalan mereka”. (27)

Inilah sekelumit komentar tentang sunnah (baca: petunujuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau dalam meluruskan dan merapatkan shaf. Semoga tulisan ini bisa menjadi pemicu bagi kita untuk mengamalkan sunnah ini dan sekaligus nasehat bagi orang-orang yang menyangka bahwa itu bukan sunnahnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat. Semoga Allah menjadikan kita sebagai pengikut setia sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan mematikan kita di atas Islam yang suci ini.

Terakhir, kami sampaikan nasehat kepada kaum muslimin -terutama para saudara kita yang menjadi imam masjid-, “Terapkanlah sunnah ini kepada jama’ah kalian, niscaya kalian akan mendapatkan pahala yang tinggi di sisi Allah. Namun jika kalian meremehkan hal ini, maka akan terjadi perpecahan dan kebencian di antara kalian dari arah yang tidak kalian ketahui sebabnya, akibat kalian telah melanggar petunjuk Allah -Ta’ala- dan Rasul-Nya -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Ketahuilah, kalian akan ditanyai oleh Allah sebagai pertanggungjawaban atas segala perbuatan kalian pada hari anak dan harta benda tidak berguna lagi bagi kalian. Janganlah kalian menghalangi para hamba Allah yang mau mengamalkan sunnah ini, apa lagi membencinya. Karena kalian akan menjadi musuh Allah di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan peperangan baginya”.(28)

Jadi, orang yang memusuhi dan membenci orang yang menerapkan sunnah ini akan dimusuhi Allah, karena orang-orang yang melaksanakan sunnah berarti ia taat kepada Allah. Sedang wali Allah adalah orang yang taat kepada Allah. Maka takutlah kalian kepada Allah Ta’ala”.
Penjelasan ringkas:

Dari Jabir bin Samurah dia berkata:
Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:

أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا قَالَ يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ

“Tidakkah kalian berbaris sebagaimana malaikat berbaris di sisi Rabbnya?” Maka kami berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana malaikat berbaris di sisi Rabbnya?” Beliau bersabda, “Mereka menyempurnakan shaf-shaf pertama dan mereka rapat dalam shaf.” (HR. Muslim no. 430)


Dari Abu Mas’ud -radhiallahu Ta’ala anhu- dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلَاةِ وَيَقُولُ اسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap pundak kami ketika akan shalat seraya bersabda, “Luruskanlah, dan jangan berselisih sehingga hati kalian bisa berselisih. Hendaklah yang tepat di belakangku adalah orang yang dewasa yang memiliki kecerdasan dan orang yang sudah berakal di antara kalian, kemudian orang yang sesudah mereka, kemudian orang yang sesudah mereka.” (HR. Muslim no. 432)


Dari Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala anhu- dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- beliau bersabda:

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat”. (HR. Muslim no. 433)


Dari sahabat Nu’man bin Basyir -radhiallahu anhu- berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوْفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ. ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرَهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ: عِبَادَ اللهِ ! لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

“Dulu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meluruskan shaf kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen), sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari, lalu beliau berdiri sampai beliau hampir bertakbir, maka tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shaf. Maka beliau bersabda, “Wahai para hamba Allah, kalian akan benar-benar akan meluruskan shaf kalian atau Allah akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.” (HR.Muslim no. 436)


Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala anhu- bercerita,

“Sholat telah didirikan (telah dikumandangkan iqomah), lalu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menghadapkan wajahnya kepada kami seraya bersabda:

أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَتَرَاصُّوْا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ
“Tegakkanlah shaf-shaf kalian dan rapatkan karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari balik punggungku”. (HR. Al-Bukhari no. 719)


Penjelasan:

Faidah tambahan dari dalil-dalil di atas:

1. Hendaknya yang berdiri di belakang imam adalah orang yang sudah dewasa dan mempunyai ilmu dan kecerdasan. Karenanya hendaknya anak-anak yang belum balig atau orang-orang yang tidak punya ilmu agama (terkhusus tentang shalat dan bacaan Al-Qur`an yang baik), tidak berada di belakang imam, kecuali jika tidak ada orang yang shalat selain mereka.

2. Perpecahan dan perbedaan dalam hal yang lahir akan menyebabkan dan mengantarkan kepada perpecahan dan perbedaan secara batin. Sebagaimana penyerupaan secara lahir akan mengantarkan kepada penyerupaan secara batin. Hal ini ditunjukkan oleh nash dan panca indera.

3. Tidak lurus dan rapatnya shaf tidaklah mempengaruhi keabsahan shalat berjamaah tersebut, walaupun tentunya sangat mempengaruhi kesempurnaannya.

4. Hendaknya imam shalat punya perhatian yang besar dalam meluruskan shaf sebagaimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- melakukannya. Dimana beliau sampai-sampai meluruskan sendiri dengan kedua tangan beliau. Maka di sini nampak bergampangannya sebagian imam yang hanya memerintahkan makmum untuk meluruskan dan merapatkan shaf (itupun sambil menghadap kiblat) tanpa memperhatikan apakah mereka mengerjakannya atau tidak.

5. Di antara keistimewaan beliau dan merupakan tanda kenabian beliau, beliau bisa melihat orang yang ada di belakang punggung beliau dengan izin Allah.


(1) Kata “sunnah” memiliki dua pengertian. Pertama: Sunnah bermakna sesuatu yang dianjurkan dan biasa diistilahkan mandub atau mustahab. Kedua: Sunnah bermakna “petunjuk “ yang pernah pernah dilakukan oleh Nabi-shollallahu alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Definisi kedua ini mencakup perkara yang wajib maupun mandub/mustahab. Dalam tulisan ini jika kami menyebut kata “sunnah”, maka yang kami maksudkan sunnah menurut definisi kedua yang bermakna “petunjuk”. Kami tak gunakan istilah sunnah untuk mengungkapkan perkara yang mustahab/mandub. Ini kami jelaskan karena banyak orang yang salah paham dalam menggunakan istilah sunnah. Seperti jika kita katakan: Meluruskan dan merapatkan shaf adalah sunnah Nabi-shollallahu alaihi wasallam-. Serta merta ada yangmengatakan: Kenapa anda mewajibkan sesuatu jika memangnya sunnah ?!! Padahal sunnah yang kita maksudkan disini adalah bermakna “petunjuk” mencakup yang wajib maupun yang tidak wajib (baca: mustahab/mandub). Namun tentunya meluruskan shaf dan merapatkannya merupakan sunnah Nabi-shollallahu alaihi wasallam- yang hukumnya wajib, bukan mandub/mustahab. Akan datang penjelasannya, insya Allah Ta’ala. Semoga bisa dipahami.
(2) HR.Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dan lainnya. Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (743)
(3) Lihat Sunan Abu Dawud, hal.110 karya Sulaiman Ibnul Asy’ats As-Sijistany Al-Azdi, cet. Dar Ibnu Hazm, tahun 1419 H
(4) HR.Ibnu Majah Al-Qozwini dalam Sunan-nya (1004). Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Muhammad Nashir Al-Albany -rahimahullah- dalam Shohih Sunan Ibnu Majah (1004) dan At-Ta’liq Ar-Roghib (1/335) cet. Maktabah Al-Ma’arif , tahun 1421 H
(5) HR.Al-Imam Ath-Thobrony dalam Al-Ausath (1/23/2). Hadits ini shohih lighoirihi sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (2533)
(6) HR. Al-Imam Muslim dalam Shohih-nya (432)
(7) HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (717), dan Muslim dalam Shohih-nya(436)
(8) HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (719)
(9) Bagal:Hewan hasil perkawinan campur antara kuda dengan keledai.
(10) HR.Al-Bukhory (725)
(11) HR.Al-Bukhory (724)
(12) Lihat Al-Qoul Al-Mubin fi Akhtho’ Al-Mushollin, hal.207
(13) Lihat Fath Al-Bari (2/211)
(14) Lihat Laa Jadiida fi Ahkam Ash-Sholah, hal.13 karya Syaikh Bakr Abu Zaid-hafizhohullah-
(15) Lihat Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (6/1/77) karya Al-Albany. Pada temapat lain beliau juga singgung hal ini. Lihat Ash-Shohihah (1/1/73-74)
(16) HR.Abu Dawud (662), Ibnu Hibban, Ahmad (4/276), dan Ad-Daulaby dalam Al-Kuna (2/86). Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (32)
(17) HR.Ibnu Khuzaimah. Lihat Shohih At-Targhib (513)
(18) Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassaroh (2/247-248)
(19) HR.Muslim dalam Shohih-nya(436)
(20) Lihat Al-Ikhtiyarot, hal.50 via Asy-Syarh Al-Mumti’.
(21) Lihat Al-Muhalla (4/52) via Minhaj An-Najah
(22) Lihat Fathul Bari (2/268) karya Al-Hafizh, ta’liq Ibnu Baz & Asy-syaibly, Darus Salam, 1421 H
(23) Lihat Minhaj An-Najah fi Wujub Taswiyah Ash-Shufuf fi Ash-Sholah (2/519) , cet. Maktabah Al-Furqon, Uni Emirat Arab, 1422 H.
(24) Lihat Nailul Author (2/454) karya Asy-Syaukani, cet.Dar Al-Kitab Al-Araby, 1420 H
(25) Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al-Mustaqni’ (3/11) karya Al-‘Utsaimin, cet. Mu’assasah Aasam.
(26) Lihat Fath Al-Bari (2/211)
(27) Lihat Ash-Shohihah (1/1/72-74) karya Al-Albany.
Kemudian Syaikh memberikan tambahan bagi ucapannya di atas pada kolom Al-Istidrokat dalam Ash-Shohihah (1/2/903) seraya berkata, “Lalu aku melihat sebuah pembahasan yang berfaedah milik salah seorang saudara kami di Makkah Al-Mukarromah -barokallahu fiih-. Dia mendukung (membela) sunnah yang kuat ini dalam risalahnya yang ia hadiahkan kepadaku “At-Tatimmat li Ba’dhi Masa’il Ash-Sholah”, hal.41-42. Maka silakan kitab itu dirujuk, niscaya anda akan mendapatkan tambahan ilmu dan faedah, insya Allah”.
(28) HR.Al-Bukhary dalam Kitab Ar-Riqoq (6502). Lihat Hidayah Ar-Ruwah (2/420) karya Ibnu Hajar, dengan takhrij Al-Albany, Cet.Dar Ibnul Qoyyim dan Dar Ibnu Affan, 1422 H.


Sumber:
1.http://al-atsariyyah.com/wajibnya-meluruskan-shaf.html
2.http://al-atsariyyah.com/wajibnya-merapatkan-dan-meluruskan-shaf.html

Wallahu a’lam
(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)
“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”
"Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,.

BENARKAH TIDAK MERAYAKAN MAULUD NABI BERARTI TIDAK MENCINTAI NABI?

Mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebuah kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan kepada setiap muslim dan muslimah, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنْ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ [ 24]
"Katakanlah: "jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS. At-Taubah: 24)

Apabila perintah mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditujukan kepada setiap muslim dan diwajibkan kepada mereka, maka hal itu lebih besar dan kuat lagi di hati para Sahabat radhiyallahu 'anhum. Adalah para Sahabat radhiyallahu 'anhum dahulu mereka mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan kecintaan yang melebihi segala kecintaan, dan mengalahkan kecintaan mereka terhadap harta, anak, dan lain-lain. Dan tanda dari kecintaan tersebut adalah ittiba'mereka terhadap ajaran-ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mereka menjauhi larangan-larangan beliau shallallahu 'alaihi wasallam.
Diriwayatkan bahwa 'Umar bin Khathathab radhiyallahu 'anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

يا رسول الله! لأنت أحب إلي من كل شيء إلا من نفسي. فقال النبي: لا، والذي نفسي بيده، حتى أكون أحب إليك من نفسك. فقال له عمر: فإنه الآن والله لأنت أحب إلي من نفسي.فقال النبي: الآن يا عمر). [البخاري، الأيمان والنذور، باب كيف كانت يمين النبي].
"Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sungguh Engkau adalah orang yang paling aku cintai, melebihi segala sesuatu, kecuali di atas diriku sendiri”.Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata:” Belum, demi yang jiwaku di tangannya (demi Allah), sampai engkau menjadikan Aku lebih engkau cintai melebihi dirimu sendiri.”Maka Umar berkata kepada beliau:” Maka sekarang –Demi Allah- sungguh Engkau lebih aku cintai, melebihi diriku sendiri.”Maka Nabi pun berkata:”Sekarang wahai Umar (sudah benar).”(HR. Bukhari Kitab Sumpah dan Nadzar bab Bagaimana Sumpah Nabi)
Potret kecintaan Sahabat terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
Kecintaan para Sahabat radhiyallahu 'anhum terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tergambar pada gambaran yang sangat banyak dan beragam, diantaranya:
1. Membela beliau shallallahu 'alaihi wasallam
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terjun ke medan dakwah yang penuh berkah melawan kemusyrikan, dan mulailah dakwah beliau ini memerangi benteng-benteng kesyirikan, dan merobohkan singgasana-singgasananya. Maka orang-orang kafir pun bangkit melawannya, dengan cara berusaha menyakiti beliau di setiap tempat sampai beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak selamat dari gangguan mereka sekalipun beliau sedang shalat di tempat shalatnya. Dan kaum muslimin di kala itu (para Sahabat) pun membela, mempertahankan beliau dan mengorbankan jiwa mereka untuknya. Maka inilah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu kekasih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di saat dia sedang duduk di salah satu sisi masjid al-Haram, ketika itu dia melihat 'Uqbah bin Abi Ma'ith, salah seorang pemimpin kaum Kafir, sedang menuju ke arah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan saat itu beliau shallallahu 'alaihi wasallam sedang shalat. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu mulai mengawasinya, dan ternyata 'Uqbah melepas bajunya dan menempelkannya di leher Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mencekik beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Maka tidak lama melihat hal itu Abu Bakar radhiyallahu 'anhu bergegas secepat panah menuju ke arah si kafir ini ('Uqbah), lalu dia memegang pundaknya dan mendorongnya dengan sekuat tenaga. Dan selamatlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari kejahatannya, kemudian beliau mengulang-ulang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

] أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَنْ يَقُولَ رَبِّي اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ [ [28] .
" Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu." (QS. Al-Mu'min: 28)
2. Takutnya mereka berpisah dengan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
Termasuk bentuk kecintaan para Sahabat kepada beliau shallallahu 'alaihi wasallam adalah takutnya mereka berpisah dengan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Siapa saja yang mengenal beliau dan bergaul dengan beliau maka tidak diragukan lagi bahwa dia akan takut dan bersedih untuk berpisah dengan beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam adalah sumber keamanan dan ketentraman bagi para Sahabat radhiyallahu 'anhum, bagaimana tidak beliaulah yang menyelamatkan mereka dari Jahiliyah yang buta kepada cahaya Islam yang terang benderang. Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bergaul dengan mereka sesuai dengan karakter mereka, beliau adalah bapak yang penyayang bagi setiap anak kecil, saudara bagi setiap muslim, dan beliau adalah penolong dan pembantu bagi setiap orang yang membutuhkan dan sandaran bagi setiap anak yatim.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutusnya ke Yaman beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengantar beliau dan berwasiat kepadanya. Saat itu Mu'adz radhiyallahu 'anhu naik binantang tunggangan sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berjalan di bawah, ketika selesai beliau bersabda:

" يا معاذ إنك عسى أن لا تلقاني بعد عامي هذا ، ولعلك أن تمر بمسجدي هذا وقبري "
"Wahai Mu'adz sesungguhnya engkau mungkin tidak bertemu aku lagi setelah tahun ini, dan mungkin saja engkau akan melewati masjidku ini dan kuburanku ini."
Maka Mu'adz pun menangis takut berpisah dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Ketakutan dan kekhawatiran mereka berpisah dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak terbatas di dunia saja, bahkan mereka takut berpisah dengan beliau di akhirat. Ath-Thabrani rahimahullah meriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha dia berkata:"Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu berkata:

يا رسول الله ، إنك لأحب إليَّ من نفسي ، وإنك لأحب إليَّ من ولدي ، وإني لأكون في البيت فأذكرك فما أصبر حتى أتي فأنظر إليك ، وإذا ذكرت موتي وموتك عرفت أنك إذا دخلت الجنة رفعت مع النبيين ، وإني إذا دخلت الجنة خشيت أن لا أراك ، فلم يرد عليه النبي صلى الله عليه وسلم شيئاً حتى نزل جبريل عليه السلام بهذه الآية : ] وَمَنْ يُطِعْ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُوْلَئِكَ رَفِيقًا [69] .
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau benar-benar lebih aku cintai melebihi diriku sendiri, sesungguhnya engkau benar-benar lebih aku cintai melebihi anakku sendiri, dan sesunguhnya aku apabila berada di rumah dan aku mengingatmu maka aku tidak sabar hingga aku mendatangimu dan melihat wajahmu. Dan aku apabila mengingat kematianku dan kematianmu, maka aku tahu bahwa engkau apabila masuk Surga engkau akan diangkat bersama para Nabi, dan aku apabila masuk Surga aku takut untuk tidak bertemu engkau. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak memberi tanggapan kepada orang itu sampai Jibril 'alaihissalam turun membawa ayat:(artinya)"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang- orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. An-Nisaa': 69) (Tafsir Ibnu Katsir, Lubabun Nuqul karya as-Suyuthi, dll)
3. Melebihkan kecintaan kepada beliau di atas selainnya
Termasuk bentuk kecintaan mereka kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah melebihkan kecintaan beliau di atas kecintaannya kepada keluarganya, keturunannya bahkan di atas kecintaan mereka terhadap diri sendiri. Dan inilah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan kepada seluruh kaum muslimin. Disebutkan dalam kitab asy-Syifaa:

أن امرأة قتل أبوها وأخوها وزوجها يوم أحد مع رسول الله فقالت:- "ما فعل رسول الله؟.- قالوا: خيرا، هو بحمد الله كما تحبين .فلما رأته قالت: كل مصيبة بعدك جلل". [الروض الأنف للسهيلي 6/25، الشفا 2/22]
"bahwa ada seorang wanita (sahabat) yang bapak, saudara dan suaminya terbunuh ketika perang Uhud bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia berkata:”Apa yang terjadi dengan Rasulullah?” Para sahabat menjawab:” Baik-baik saja, beliau alhamdulillah sebagaimana yang engkau harapkan”Dia berkata:”Seluruh musibah selain (yang menimpa) Engkau (Rasulullah) adalah ringan.”(Ar-Raudh al-Anf karya as-Suhaili, 6/625, asy-Syifaa bi Huquqil Mushthafa, karya al-Qadhi ‘Iyadh)
4. Berlomba-lomba dalam mencintai beliau
Termasuk kemurnian mereka radhiyallahu 'anhum dalam mencintai beliau shallallahu 'alaihi wasallam adalah berusaha dan berlomba-lomba dalam mencintai beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Setiap mereka bersungguh-sungguh untuk menang mendapatkan kecintaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya lebih banyak dibandingkan Sahabat yang lain. Demikianlah mereka radhiyallahu 'anhum berusaha keras mencintai beliau dan ikhlash dalam kecintaan tersebut.
Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari bapaknya radhiyallahu 'anhu berkata:
'Ali bin Abi Thalib, Ja'far bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah radhiyallahu 'anhum berkumpul, maka Ja'far berkata:"Aku adalah orang yang paling mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di antara kalian." 'Ali berkata:"Aku adalah orang yang paling mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di antara kalian." Dan Zaid berkata:"Aku adalah orang yang paling mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di antara kalian." Maka mereka berkata:"Pergilah bersama kami kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kita menanyakannya kepada beliau." Usamah berkata:"Maka mereka datang meminta izin kepada beliau." Maka beliau berkata:"Keluar dan lihatlah siapa mereka?" Maka aku berkata:"Ini adalah Ja'far, Ali, dan Zaid " Maka beliau bersabda:"izinkan mereka masuk" Maka mereka pun masuk, lalu mereka berkata:"Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam siapa yang paling anda cintai?" Beliau menjawab:"Fathimah" Mereka berkata:"Kami bertanya kepadamu dari kalangan laki-laki" Maka beliau berkata:"Adapun engkau ya Ja'far, maka fisikmu paling mirip denganku, dan fisikku mirip dengan fisikmu dan engkau dariku dan engkau termasuk kerabatku. Adapun engkau ya 'Ali, engkau adalah bapak dari anakku (maksudnya bapak dari cucu Nabi), aku bagian darimu dan kamu bagian dariku, sedangkan engkau ya Zaid adalah pembantuku, engkau bagian dariku dan engkau adalah orang yang paling aku cintai..”Maka Nabi mengutamakan Zaid dan memuliakan yang lainnya.”(diriwayatkan oleh at-Tirmidzi secara ringkas)
5. Mencium jasad beliau yang suci
Termasuk bentuk kecintaan mereka terhadap beliau shallallahu 'alaihi wasallam adalah mereka mencium jasad beliau yang suci, maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meluruskan shaff kaum muslimin (sebelum shalat) dengan sepotong pelepah kurma, ketika itu pelepah korma beliau mengenai perut salah seorang sahabat, maka sahabat tersebut memanfaatkan kesempatan tersebut dan berkata:”Wahai Rasulullah, engkau telah mengagetkan aku” Dan beliau berkata:”Balaslah aku” Maka diapun memeluk perut Rasulullah dan menciumnya, lalu berkata:”Wahai Rasulullah aku mengira ini adalah pertemuan terakhirku denganmu, maka aku ingin menyentuhkan kulitku dengan kulitmu supaya aku tidak disengat api neraka”
6. Pengorbanan mereka untuk beliau
Termasuk bentuk kejujuran cinta mereka kepada beliau shallallahu 'alaihi wasallam adalah mereka menikmati aneka siksaan dalam rangka menyelamatkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari berbagai macam mara bahaya. Bahkan hampir tidak tergambarkan kenyamanan dan ketenangan mereka ketika disakiti dan disiksa. Di antara kisah-kisah tersebut adalah kisah Zaid bin ad-Datsinah berikut ini:
Ketika penduduk Makkah mengeluarkan Zaid bin al-Datsinah radhiyallahu 'anhu dari masjidil Haram untuk membunuhnya (karena di masjidil Haram tidak boleh membunuh), Abu Sufyan (sebelum beliau masuk Islam)berkata kepadanya:”Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah wahai Zaid, apakah engkau suka kalau Muhammad sekarang berada di sini menggantikan posisimu untuk dibunuh, dan engkau bersama keluargamu?”Maka Zaid radhiyallahu 'anhu bekata:”Demi Allah, aku tidak suka kalau Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sekarang berada pada tempat beliau yang di sana beliau tertusuk duri sedangkan aku duduk bersama keluargaku.”Abu Sufyan berkata:”Aku tidak pernah melihat seorang pun yang mencintai seseorang melebihi kecintaan Sahabat Muhammad terhadap Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (Sirah Nabawiyah Shahihah, Akram Dhiya al-‘Umari, Sirah Ibnu Hisyam dll)
7. Bersegera menjalankan perintah beliau
Termasuk kebesaran cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah sikap mereka ketika menjalankan apa yang beliau katakan, mendengar pendapat beliau, menjawab perintah dan berhenti dari apa yang beliau larang. Hal tersebut merupakan kejujuran cinta mereka radhyallahu anhum. Dari Abdurrahman bin Abi Laila:

أن عبد الله بن رواحة رضى الله عنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم وهو يخطب ، فسمعه وهو يقول : " اجلسوا " فجلس مكانه خارجاً عن المسجد حتى فرغ النبي صلى الله عليه وسلم من خطبته ، فبلغ ذلك النبي فقال له : " زادك الله حرصاً على طواعية الله وطواعية رسوله " .
Bahwa Abdullah bin Rawahah mendatangi Nabi pada suatu hari di mana waktu itu beliau sedang berkhutbah, lalu dia mendengar Nabi berkata:”Duduklah kalian” maka dia pun duduk di tempat itu seketika itu juga di luar masjid, sampai Rasulullah selesai berkhutbah. Lalu hal itu sampai kepada Rasulullah maka beliau bersabda kepadanya:”Semoga Allah menambahkan semangatmu atas ketaatanmu kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Dan sebagai penutup, inilah ringkasan potret kecintaan para Shahabat kepada Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam.Dari beberapa gambaran tersebut tidak kita dapatkan satu keterangan pun dari mereka bahwa mereka memperingati ataupun merayakan maulid/maulud Nabi. Maka seandainya itu baik tentulah mereka yang pertama kali melakukannya. Seandainya itu adalah cara merealisasikan cinta kepada Nabi, tentulah mereka akan bersegera melaksanakannya karena kecintaan mereka yang sangat besar kepada Nabi. Kemudian kita tanyakan kepada orang-orang yang memperingati perayaan maulid tersebut:” Apakah kecintaan anda kepada Nabi lebih besar daripada kecintaan para Sahabat kepada Nabi?” Tentu setiap orang yang berakal bisa menjawabnya. Wallahu Musta'an
(Sumber: صور من محبة الصحابة للنبي صلى الله عليه وسلم Shuwar min Hubbi ash-Shabati liNabi shallallahu 'alaihi wasallam. Diterjemahkan dan diposting dengan sedikit gubahan oleh Abu Yusuf Sujono)

Diambil dari ://www.alsofwah.or.id</span>

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites